Konon, suatu niat baik jika dilakukan dengan cara yang keliru, akan merusak nilai kebaikan itu sendiri. Begitupun dengan proses survei. Niat menyajikan informasi kepada masyarakat, justru akan menjadi pengaburan fakta jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik. Dan itu yang terjadi pada lembaga survei PolMark di bawah nahkoda Eep Saefullah.
Melalui rilis survei terbarunya, Eep Saefullah menuding bahwa hasil lembaga survei yang lain adalah survei yang 'tidak selesai' (entah apa maksudnya ini). Kemudian sebagai respon atas 'survei yang tidak selesai' itu, dia menawarkan hasil survei dari lembaganya sendiri yang menurutnya lebih sahih.
Eep mengatakan bahwa ada alasan mengapa survei dari PolMark ini jauh lebih superior dari hasil survei lembaga lagi. Salah satu alasannya adalah banyaknya responden yang digunakan. PolMark, dalam proses risetnya, menggunakan responden sebesar 38.400 dari 32 provinsi dengan pola pembagian 1.200 per provinsi. Hal ini kontras jika dibandingkan dengan jumlah responden pada survei lembaga lain yang biasanya menggunakan 1.200 responden saja (ada tambahan jika memerlukan data yang lebih mendetail).
Lantas apakah kita harus 'wow' dengan argumen Eep? Sayangnya, tidak. Justru argumen Eep ini menyimpan kecacatan. Dan cacat itulah yang akhirnya membuat hasil surveinya tidak bisa dianggap kredibel.
Perihal Metodologi
Ada kata kunci jika kita berbicara survei. Yaitu, metodologi. Sejatinya, banyaknya responden tidak menjadi syarat mutlak dalam metodologi untuk melihat persepsi masyarakat yang masuk dalam sampel. Entah urusan basic seperti ini dimengerti Eep atau tidak. Padahal, jumlah responden itu nomor sekian, yang utama adalah metode pengambilan sampel yang merata.
Rilis survei dari PolMark menuai banyak kritik. Bukan pada hasilnya, tentu saja, tetapi pada metode yang digunakan. Seolah dengan lebih banyak responden maka survei semakin kredibel dan superior. Padahal faktanya, semakin banyak responden, maka margin error-nya juga akan semakin besar.
Sebagai seorang CEO dari salah satu lembaga survei, kekeliruan berpikir seperti seharusnya tidak terjadi pada Eep Saefullah. Tetapi kita mungkin harus menguti kredo agama, bahwa manusia adalah tempat salah dan dosa. Sehingga kekeliruan seperti ini, mungkin bisa kita maklumi. Ya, asal jangan terulang kedua kali.
Rasanya, Eep tak perlu lagi diingatkan bahwa proses survei yang dilakukan dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan kaidah ilmiah tidak dapat diabaikan. Proses atau metodologi survei tidak hanya menjadi ajang keren-kerenan atau gagah-gagahan. Yang paling penting adalah ketepatan dan bagaimana sebisa mungkin hasil survei memberikan informasi yang akurat untuk masyarakat.
Hal ini harusnya dia mengerti bahwa dalam rangka mengoptimalkan manfaat survei dan menjaga integritas data, peneliti harus senantiasa mengikuti kaidah ilmiah, mulai dari perencanaan hingga analisis data. Proses seperti ini tidak hanya meningkatkan kualitas penelitian tetapi juga memberikan kontribusi positif pada perkembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan yang didasarkan pada bukti-bukti yang kuat.