23. Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.
Secara normatif, dengan melalui beberapa ayat ini, sebenarnya dapat kita garis bawahi bahwa perekaman Al-Qur'an terhadap peran sosial yang dimainkan oleh perempuan tidak hanya menunjukan suatu kebolehan. Akan tetapi, hal itu merupakan suatu anjuran bagi perempuan Islam guna berperan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga diharapkan kaum perempuan juga mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam mensejahterakan hidup dan memakmurkan bumi.Â
Meskipun dalam hal ini Islam telah memberikan sinyalemen kesamaan hak dalam partisipasi setiap aspek kehidupan. Namun dalam realitas kehidupan, masih saja terjadi kesenjangan antara idealita dan realita. Sejarah pergolakan dunia Islam, tidak meninggalkan sedikitpun partisipasi kaum perempuan dalam menentukan arah dan mewarnai corak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat.
Analisis Dalam Pendekatan Historis
Apabila kita runtut terkait sejarah perjuangan perempuan, baik sebelum Islam datang ataupun pada saat awal-awal pertumbuhan Islam, maka dapat dilihat adanya suatu rekam jejak indah yang menyajikan berbagai catatan strategis akan pentingnya peran perempuan dalam berbagai ruang. Sebut saja Ratu Balqis yang mampu membawa bangsanya menjadi negeri yang sejahtera dalam naungan ridha Ilahi. Kemudian pada awal Islam, kita juga mengenal Khadijah sebagai seorang perempuan yang independen. Setelah menikah dengan nabi, Khadijah tetap menjalankan bisnisnya berdagang, aktif berinteraksi dengan masyarakat dan mendukung sepenuhnya perjuangan nabi berdakwah kepada Islam. Khadijah adalah citra perempuan yang bebas, tegas dan tidak sesuai dengan 'anggapan' tentang perempuan pasif dalam masyarakat Islam.
Demikian juga, masa setelah wafatnya sang Nabi, merupakan masa transisi, yang justru perempuan mengambil peran sosial yang cukup signifikan dan menuntukan, bahkan dalam politik. Hal ini setidaknya tergambar dalam sikap 'Aisyah binti Abu Bakar yang menentang kekuasaan 'Ali ibn Abi Thalib dalam perang Jamal, dan posisinya sebagai referensi utama dalam urusan keagamaan, terutama yang terkait dengan urusan keperempuanan. Ada juga Hafsah binti Umar yang mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam sejarah penghimpunan Al-Qur'an.
Dalam sejarah Indonesia juga pernah mencatat kepemimpinan empat ratu di Aceh, bahkan ada beberapa pelopor perempuan muslimah dalam memperjuangkan harkat dan martabat perempuan bangsa Indonesia, seperti yang dilakukan oleh R.A. Kartini di Jawa, Nyi Ageng Serang di Banten, dan Cut Nyak Dien di bumi Serambi Mekah. Dalam konteks saat ini pun, muncul nama Wardah Hafid, Nurul Agustina, Ratna Megawangi, serta Sinta Nuriyah Abdurrahman Wachid yang juga berada pada posisi terdepan guna membela kaum perempuan.
Melalui beberapa bukti historis di atas, kita bisa memetik poin penting bahwa perempuan sesungguhnya senantiasa memiliki kontribusi yang cukup besar dalam dunia Islam. Oleh karena itu, apabila masih adanya sebuah pemahaman dan keraguan akan peran sosial dari perempuan, maka sama halnya kita bersikap historis, bahkan memutar sejarah ke belakang yang berarti adalah kemunduran dan bahkan lebih parahnya lagi dapat disebut sebagai upaya pembodohan sejarah. Dengan kata lain, bukti-bukti sejarah itulah yang nantinya dapat menggambarkan bahwa perempuan merupakan bagian dari pelaku sejarah, bukan semata objek sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI