Kode etik merupakan norma profesi yang menjadi landasan pengambilan keputusan, menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Seorang perawat Indonesia harus mematuhi kode etik nasional dalam menjalankan tugas dan kewajiban keperawatannya. Sebagai tenaga kesehatan yang sering berinteraksi langsung dengan pasien, perawat dituntut untuk menghormati kode etik administrasi dan menerapkan prinsip-prinsip pedomannya dalam melaksanakan pelayanan berupa pelayanan keahlian, keterampilan praktik, dan asuhan keperawatan. Kode etik perawat nasional Indonesia harus selalu dipatuhi oleh seorang perawat untuk mencegah dan mengurangi insiden pelanggaran kode etik dengan mengatur prinsip-prinsip yang berlaku bagi perawat Indonesia selama mereka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perawat.
Regulasi adalah strategi untuk mengendalikan orang atau masyarakat dengan memberlakukan suatu aturan atau larangan (Yusuf, 2015). Regulasi dalam keperawatan merupakan tujuan hukum yang digunakan untuk menentukan ruang lingkup praktik keperawatan, perizinan, dan standar perawatan (Berman, et al., 2016). Adapun tujuan dibentuknya regulasi ini berdasarkan Pasal 3 UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yaitu untuk mengembangkan kualitas keperawatan, meningkatkan standar pelayanan, memberikan jaminan hukum kepada pasien dan perawat, dan menaikkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, regulasi keperawatan di Indonesia salah satunya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan membahas mengenai kewajiban seorang perawat, yaitu perawat dituntut untuk menyempurnakan infrastruktur pelayanan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan, memberikan pelayanan, mendokumentasikan asuhan keperawatan, merujuk pasien ke perawat lain jika tidak mampu menanganinya, dan memberikan informasi lengkap yang benar dan mudah dipahami  mengenai asuhan keperawatan yang akan dilakukan kepada klien berdasarkan kewenangan perawat. Agar dapat dimintai pertanggung jawaban jika terjadi kesalahan atau tindakan penelantaran (Setiani, 2018).
Salah satu permasalahan saat ini mengenai etika dan regulasi keperawatan yaitu menyikapi media sosial. Kepatuhan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan menjadi permasalahan akibat semakin tingginya penggunaan media sosial. Faktanya, sangat penting untuk diingat bahwa perawat harus bertindak secara moral saat memberikan asuhan keperawatan untuk melindungi klien dari kerugian yang dapat ditimbulkan. Sebagai contoh, beberapa oknum perawat yang tidak dapat dipercaya terkadang memposting informasi pribadi, foto, dan rahasia klien di platform media sosial seperti Facebook, Instagram, atau Tiktok, dan kontennya menjadi viral.Â
Hal ini, berdampak kepada citra seorang perawat menjadi buruk di mata masyarakat umum sehingga memberikan pengaruh negatif apabila digunakan dengan tidak bijaksana. Pemanfaatan media sosial yang seharusnya untuk mempromosikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat disalahgunakan oleh oknum-oknum yang menyebabkan pelanggaran kode etik karena melanggar hak privasi klien dan bahkan menimbulkan persepsi buruk masyarakat terhadap perawat.
Pelanggaran kerahasiaan pasien, hubungan yang tidak jelas antara petugas kesehatan dan pasien, pencemaran reputasi, dan informasi yang tidak dapat diandalkan semuanya merupakan sejumlah masalah terkait penggunaan media sosial bagi tenaga kesehatan. Meskipun begitu, kenyataannya di luar sana masih banyak perawat yang menggunakan media sosial untuk hal yang positif, contohnya menggunakan media sosial sebagai media dalam pemberian perawatan, penyuluh atau pendidik, serta kolaborasi baik sesama perawat atau profesi lainnya juga dapat dilaksanakan melalui media sosial.
Pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada klien nyatanya tak lepas dari pengaruh media sosial. Tak jarang perawat menghabiskan waktu senggang mereka dengan membuka sosial media meskipun hanya sekedar browsing, sesekali mereka update status atau menonton/membaca berita terkini di media. Hal ini terkadang menimbulkan waktu yang produktif atau jam kerja terbuang sia-sia karena ketidaksadaran perawat akan waktu sehingga menyebabkan penggunaan media sosial yang melebihi batas waktu normal.Â
Selain menyebabkan waktu produktif terbuang sia-sia, media sosial bisa mempengaruhi motivasi dan etos kerja perawat. Hal ini dikarenakan beban kerja perawat yang cenderung tinggi membuat sebagian besar perawat menganggap media sosial sebagai pengalihan perhatian dan hiburan (Marsal dan Hidayanti, 2018). Media sosial nyatanya dapat mempermudah perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di tempat kerja. Berkaitan dengan etika, perawat tidak bisa sembarangan dan harus berhati-hati dalam menyikapi media sosial terutama yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Di Indonesia, saat ini belum ada aturan formal yang mengatur dan mengawasi etika penggunaan media sosial oleh perawat. Namun diharapkan perawat lebih bijaksana dan bersikap mawas diri dalam menggunakan media sosial dan senantiasa untuk memperhatikan semua prinsip etik yang terdapat dalam Kode Etik Keperawatan, khususnya profesionalisme, integritas, kesopanan rekan kerja, dan kerahasiaan (Muntaha, 2018). Menurut ketentuan UU Nomor 38 Tahun 2014 pasal 37, perawat dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaiannya. Oleh karena itu, sebagai perawat professional yang memiliki akuntabilitas dan tanggung gugat haruslah menyediakan asuhan keperawatan yang bermutu tinggi, baik bagi pasien, keluarga maupun masyarakat.
Perawat seringkali tidak menyadari ketika mereka menghabiskan lebih banyak waktu dari biasanya karena penggunaan media sosial yang terlalu sering. Â Penggunaan sosial media yang tidak bijak juga dapat berdampak kinerja perawat. Maka dari itu, dalam memanfaatkan media sosial, perawat harus lebih memperhatikan etika dan aturan yang ada agar tidak merugikan dirinya sendiri, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan. Baik di dunia nyata maupun dunia maya, perawat diharapkan mampu melakukan pekerjaannya dengan senantiasa menerapkan prinsip akuntabilitas dengan lebih baik. Jika semua hal tersebut terpenuhi, maka akan terjadi peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan rumah sakit. Â
Â