Mohon tunggu...
Sabrina Julietta Arisanty
Sabrina Julietta Arisanty Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Nutritionist

Saya seorang nutritionist/ahli gizi yang memiliki ketertarikan terhadap kelestarian lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Planetarian Health Diet: Solusi Makan Sehat untuk Tubuh dan Lingkungan

25 September 2024   19:17 Diperbarui: 25 September 2024   19:22 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source:  eatforum.org

Tanpa kita sadari, lebih dari sepertiga makanan yang diproduksi di dunia berakhir menjadi sampah. UN Environment Programme (2024) melaporkan terdapat 2,5 miliar ton sampah makanan di tahun ini. Indonesia berkontribusi sebanyak 14,7 ton/tahunnya dan menjadi negara penyumbang sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara. Berdasarkan temuan Kementerian PPN/Bappenas bersama Waste4change tahun 2023 mayoritas sampah makanan yang terbuang merupakan produk yang berasa dari tumbuh-tumbuhan atau kita kenal sebagai produk nabati (sayur, buah, biji-bijian, dll) (Defitri, 2023). Sampah makanan ini tentu mempunyai dampak yang buruk terhadap bumi maupun manusia.

Dampak Sampah Makanan terhadap Lingkungan 

Produksi makanan merupakan salah satu kontributor utama terjadinya kerusakan lingkungan (Scherhaufer, et al, 2018). Hal ini berkaitan dengan penggunaan sumber daya seperti bahan bakar, tanah, dan air. Selain itu, penggunaan pupuk pada pertanian dan aktivitas ternak menghasilkan emisi yang paling banyak dan dapat mempengaruhi perubahan iklim (Notarnicola, et al, 2017). Tak berhenti di situ, proses penyimpanan, pengolahan, hingga pendistribusian makanan juga menambah dampak lingkungan ini. Mengapa? Karena semakin panjang suatu makanan diproses, maka semakin banyak emisi yang diberikan pada lingkungan.

Dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi makanan akan semakin parah ketika makanan terbuang dibandingkan dikonsumsi. Artinya, ketika makanan terbuang, maka semua aktivitas dan emisi yang dihasilkan dalam rantai pasokan makanan sebelumnya menjadi sia-sia. Oleh karena itu, PBB menargetkan pengurangan 50% sampah makanan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2050. Mendukung tujuan PBB tersebut, EAT-Lancet Commission pada tahun 2019 memperkenalkan Planetary Health Diet (PHD).

Apa itu Planetary Health Diet (PHD)?

Planetary Health Diet (PHD) dirancang tidak hanya untuk memaksimalkan kesehatan manusia, tetapi juga memastikan keberlanjutan sistem pangan global dan mendukung keseimbangan lingkungan. Implementasi dari PHD dalam sepiring makanan yaitu: Setengah piring terdiri dari buah-buahan dan sayuran, separuh sisanya terdiri dari biji-bijian, protein nabati (kacang-kacangan, polong-polongan), minyak nabati tak jenuh, dan sisanya sedikit daging, susu, gula dan tepung.  Diet ini bersifat fleksibel, namun tetap berprinsip makan lebih banyak produk nabati, mengurangi konsumsi daging dan meminimalkan limbah pangan. 

Prinsip Dasar Penerapan Planetary Health Diet

Memaksimalkan Makanan Nabati 

Komponen utama dari PHD adalah penekanan pada konsumsi makanan nabati, seperti: sayuran, buah-buahan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan polong-polongan. Sumber makanan nabati kaya akan serat, vitamin dan mineral. Pola makan berbasis nabati terbukti secara ilmiah mengurangi risiko berbagai penyakit kronis, termasuk jantung, diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker (Derbyshire, 2016). Makanan nabati memiliki jejak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan makanan hewani. Produksi ternak (daging, susu dan olahannya) memerlukan lahan, air dan sumber daya lainnya dalam jumlah besar, sehingga menghasilkan emisi gas yang cukup besar juga. Di samping itu, makanan nabati menjadi jenis sampah makanan yang paling banyak dibuang. Penerapan PHD yang memaksimalkan makanan nabati, diharapkan dapat mengurangi volume sampah makanan dan mengurangi emisi gas yang akan berdampak pada lingkungan.

Pengurangan Konsumsi Daging

Dalam PHD, sangat disarankan untuk mengurangi konsumsi daging terutama daging merah. Meskipun daging merupakan sumber protein, zat besi dan zat gizi penting lainnya namun produksi daging merah memiliki dampak kurang baik terhadap lingkungan. Daging merah, terutama daging sapi menjadi penghasil utama emisi gas rumah kaca, karena hewan ternak memproduksi metana, yang merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat. Peternakan sapi juga cenderung memerlukan lahan yang luas, yang menyebabkan deforestasi, hilangnya habitat satwa liar dan kerusakan keanekaragaman hayati. Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, PHD menyarankan untuk meminimalisir konsumsi daging merah (14 gram/hari) dan dimaksimalkan dengan sumber protein yang lebih berkelanjutan seperti ikan, unggas dan kacang-kacangan.

Proporsi Lemak dan Karbohidrat yang Seimbang

PHD juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara lemak sehat dan karbohidrat kompleks dalam diet. Lemak sehat dapat ditemukan pada makanan seperti: minyak zaitun, kacang-kacangan dan ikan berlemak. Lemak sehat sangat baik untuk kesehatan jantung dan fungsi otak. Selain itu, karbohidrat kompleks yang berasal dari sumber biji-bijian utuh seperti: gandum, beras merah dan oat memberikan energi berkelanjutan bagi tubuh. Sumber karbohidrat sederhana seperti: gula dan tepung putih sering kali menyebabkan lonjakan gula darah. Sebab itu, diet yang seimbang antara lemak sehat dan karbohidrat kompleks dapat menjaga kesehatan dari penyakit metabolik seperti diabetes dan hipertensi. 

Minimalkan Limbah Pangan

Salah satu fokus PHD adalah makan dengan lebih sadar dan bertanggung jawab. Dengan mengutamakan makanan yang lebih sedikit menghasilkan emisi dan penggunaan sumber daya alam (air, lahan), maka rantai pasokan makanan bisa lebih efisien, sehingga mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan selama proses produksi dan distribusi, PHD secara langsung mengajarkan konsumsi makanan yang lebih seimbang dan berkelanjutan, dengan harapan masyarakat lebih sadar dengan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Misalnya membeli makanan dalam porsi yang lebih kecil dan sesuai kebutuhan untuk membantu mengurangi kemungkinan terbuangnya makanan.  

Mengingat banyaknya makanan yang berakhir menjadi sampah dan dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan di masa yang akan datang. Banyak sektor berbondong-bondong untuk mewujudkan pengurangan volume sampah makanan di 2050 mendatang. Salah satu langkah kecil yang dapat dimulai, yaitu dari perubahan pola dietmu. Berkaca dari Planetarian Health Diet yang memaksimalkan makanan beremisi rendah, kita bisa selamatkan diri dari penyakit sekaligus lingkungan untuk generasi ke depan. Jadi, tunggu apalagi? Yuk mulai bijak dalam pemilihan diet kita!

Referensi:

Defitri, M. (2023, May 30). Kondisi Persampahan Indonesia dari Tahun ke Tahun. Retrieved from Waste4Change: https://waste4change.com/blog/kondisi-persampahan-indonesia-dari-tahun-ke-tahun/

Derbyshire, E. J. (2017). Flexitarian Diets and Health: A Review of the Evidence-Based Literature. Frontiers in Nutrition , 2-8.

Forbes, H., Peacock, E., Abbot, N., & Jones, M. (2024). Think Eat Save: Tracking Progress to Halve Global Food Waste (Food Waste Index Report 2024). UN Environment Programme.

Natarnicola, B., Tassielli, G., Renzulli, P. A., Castellani, V., & Sala, S. (2017). Environmental Impacts of Food Consumption in Europe. Journal of Cleaner Production, 753-765.

(2024). Ringkasan Laporan Komisi EAT-Lancet "Pangan Planet Bumi Kesehatan: Pola Makan Sehat dari Sistem Pangan Berkelanjutan". EAT-Lancet Commission.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun