Kasus Korupsi pada PT Jiwasraya
Dugaan kasus korupsi PT Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara hingga 17 triliun merupakan pelanggaran hukum dalam bisnis asuransi dan tindakan tersebut jelas melanggar UU No. 13 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam cara pandang positivism, dugaan kasus korupsi PT Jiwasyara tersebut memfokuskan pada bagaimana hukum hukum tertulis diterapkan secara objektif, terlepas dari pertimbangan moral, etika, atau keadilan sosial.
Dengan demikian, analisis dari perspektif positivisme hukum menunjukkan bahwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya merupakan pelanggaran terhadap peraturan hukum yang jelas dan objektif. Dalam kasus ini hukum harus dipahami sebagai sistem yang terdiri dari peraturan-peraturan yang jelas dan dapat diprediksi, bukan sebagai ekspresi nilai-nilai atau keinginan individu.
PT Asuransi Jiwasraya telah melanggar peraturan-peraturan keuangan yang berlaku, seperti melakukan rekayasa akuntansi dan investasi yang tidak transparan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak menghormati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan lembaga keuangan.Â
Madzhab Hukum Positivism Mazhab positivisme dalam kasus korupsi Jiwasraya mungkin mengabaikan beberapa aspek keadilan substantif, seperti dampak ekonomi yang besar pada para nasabah yang dirugikan, atau ketidakmampuan untuk sepenuhnya memulihkan kerugian yang mereka alami. Pendekatan ini sering kali hanya berfokus pada menghukum pelaku sesuai dengan undang-undang, tetapi kurang memperhatikan aspek-aspek lain yang bersifat moral atau sosial, seperti keadilan restoratif atau upaya pemulihan kerugian. Mazhab positivisme dalam kasus Jiwasraya mendukung pendekatan yang menekankan pada kepatuhan terhadap hukum tertulis dan prosedur yang sah, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor moral, sosial, atau ekonomi yang mungkin dianggap penting oleh mazhab hukum lainnya.
Argumen Mengenai Madzhab Hukum Positivism dalam Hukum di IndonesiaÂ
Mazhab hukum positivisme dalam hukum di Indonesia menekankan pada penerapan hukum yang didasarkan pada peraturan tertulis dan otoritas negara yang sah, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah. Dalam konteks ini, hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang harus ditaati oleh masyarakat, terlepas dari nilai-nilai moral atau keadilan substantif. Keputusan hukum diambil berdasarkan interpretasi harfiah dari undang-undang, dan proses hukum menekankan pada prosedur formal serta kepastian hukum.
Kelebihan mazhab positivisme dalam hukum Indonesia adalah memberikan kepastian hukum (rechtssicherheit), di mana setiap individu mengetahui aturan yang harus diikuti dan konsekuensi dari pelanggaran hukum. Hal ini penting untuk menjaga ketertiban dan stabilitas dalam masyarakat.
Namun, kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa ia sering kali mengabaikan aspek keadilan substantif, moralitas, atau nilai-nilai sosial, yang dapat membuat penerapan hukum terasa kaku dan tidak fleksibel, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan pertimbangan moral atau sosial lebih mendalam. Misalnya, dalam beberapa kasus, penerapan hukum secara literal dapat menghasilkan keputusan yang tampak adil secara formal, tetapi tidak sepenuhnya adil bagi pihak yang dirugikan secara sosial atau ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H