Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan global yang paling mendesak saat ini. Peningkatan suhu Bumi, mencairnya es di kutub, dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi adalah dampak nyata dari emisi gas rumah kaca yang terus meningkat. Salah satu upaya yang mulai diperkenalkan untuk menangani krisis ini adalah kebijakan langkah mitigasi yang ditingkatkan, atau yang dikenal sebagai Enhanced Mitigation Measures. Namun, efektivitas kebijakan ini masih menjadi bahan perdebatan. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan ini benar-benar dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis iklim, atau sekadar formalitas yang tidak membawa dampak nyata?
Kebijakan mitigasi adalah pondasi dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dunia perlu membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius untuk mencegah dampak yang lebih buruk dari perubahan iklim. Tanpa langkah mitigasi yang konkret, kerusakan ekosistem, krisis pangan, dan bencana kemanusiaan akan semakin tidak terhindarkan.
Sebagai salah satu negara dengan hutan hujan tropis terbesar, Indonesia memegang peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, laporan dari Climate Action Tracker mencatat bahwa target emisi net-zero Indonesia pada 2060 masih jauh dari cukup untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Oleh karena itu, diskusi mengenai efektivitas kebijakan Enhanced ini sangat penting untuk memastikan bahwa langkah mitigasi yang diambil tidak hanya ambisius di atas kertas, tetapi juga dapat diimplementasikan secara efektif dan berdampak nyata.
Saya berpendapat bahwa kebijakan Enhanced memiliki potensi besar untuk menjadi solusi bagi krisis iklim, namun keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen nyata dari pemerintah dan sektor swasta dalam pelaksanaannya. Jika hanya sekadar kebijakan di atas kertas tanpa diiringi dengan tindakan konkret, maka kebijakan Enhanced tidak akan mampu menghadapi tantangan besar perubahan iklim.
Salah satu keunggulan dari kebijakan ini adalah kemampuannya untuk mendorong inovasi dalam teknologi rendah karbon serta transisi menuju energi bersih. Misalnya, kebijakan subsidi untuk energi terbarukan dapat mempercepat pengembangan energi surya dan angin. Selain itu, langkah-langkah Enhanced ini dapat mencakup konservasi ekosistem penting seperti hutan mangrove, yang terbukti mampu menyerap karbon hingga empat kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis lainnya.
Namun, terdapat tantangan besar yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah ketergantungan pada energi fosil di banyak negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2023), sekitar 60% listrik di Indonesia masih berasal dari pembangkit berbahan bakar batu bara. Tanpa keberanian untuk mengurangi atau menghapus subsidi energi fosil, pencapaian hasil maksimal dari kebijakan Enhanced akan sulit terwujud.
Pendapat saya didasarkan pada beberapa alasan yang mendasar:
- Bukti Ilmiah yang Mendukung Keberhasilan Kebijakan Mitigasi
Data dari Global Carbon Project menunjukkan bahwa negara-negara yang telah menerapkan kebijakan mitigasi ambisius, seperti Swedia dan Norwegia, berhasil mengurangi emisi karbon secara signifikan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kebijakan Enhanced dapat memberikan hasil positif jika dirancang dan diterapkan dengan baik.
- Peran Strategis Indonesia
Dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki posisi strategis dalam upaya mitigasi global. Namun, laporan dari World Resources Institute (2022) menunjukkan bahwa Indonesia juga termasuk dalam 10 negara dengan emisi karbon terbesar. Kebijakan Enhanced bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memimpin dalam aksi iklim global sekaligus memperbaiki citra di kancah internasional.
- Tantangan dalam Implementasi
Implementasi kebijakan ini tidak akan mudah, dan ada banyak hal yang perlu dikelola dengan baik untuk memastikan keberhasilannya. Upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan ini.
Meski kebijakan ini menawarkan potensi yang signifikan, tantangan dalam pelaksanaannya tidak dapat diabaikan. Salah satu isu utama adalah kurangnya koordinasi antar lembaga dan lemahnya penegakan hukum terkait lingkungan. Contohnya, masih banyak kasus penebangan hutan ilegal yang tidak mendapatkan penanganan yang memadai, meskipun kebijakan untuk mengendalikan deforestasi sudah diterapkan.