Isu kesehatan dan kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat diutamakan pada masa sekarang. Seperti, tujuan agar terpenuhinya kebutuhan pelayanan kesehatan dunia khususnya di negara berkembang. Hal ini juga berpengaruh pada Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 pada nomor 3 yaitu "Kesehatan yang Baik dan kesejahteraan". Namun di Indonesia, pencapaian SDGs 2030 bukan hanya terfokus kepada permasalahan pelayanan kesehatan, karena nyatanya salah satu penghambatnya adalah kebijakan tembakau dan lingkungan bebas asap rokok yang masih lemah di Indonesia.
Bapak Fuad Baradja, anggota KOMNAS Pengendalian Tembakau bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat sekaligus terapis untuk berhenti merokok mengatakan, “Kemauan politik pemerintahan Indonesia masih sangat lemah dalam mengendalikan tembakau. pemerintahan berpendapat bahwa masalah pengendalian tembakau belum menjadi sebuah urgensi negara. Ini salah satu faktor penghambat dari tercapainya SDGs 2030” ucapnya pada hari Senin 15/03.
Bentuk tidak siapnya pemerintah Indonesia juga terlihat pada 27 Februari tahun 2005. Saat World Health Organization (WHO) mengadakan konvensi Pengendalian Rokok Internasional atau yang dikenal sebagai Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pada konvensi tersebut, 180 negara di dunia turut serta dalam meratifikasi, dan di Asia Raya, hanya Indonesia yang tidak meratifikasi konvensi tersebut. Padahal, FCTC memiliki peran penting dalam mengendalikan tembakau dan sudah diakui dunia.
Permasalahan tembakau yang tidak kunjung selesai ini, sangat mempengaruhi kesejahteraan rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, pemerintah masih belum bisa mengatur penjualan rokok dengan maksimal. Hingga kini, penjualan rokok masih sangat bebas di pasaran. Peraturan yang menyangkut minimal umur dalam pembelian rokok seperti yang ada pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 pun masih mudah diselewengkan. Selain itu, banyaknya warga yang memiliki ekonomi rendah juga para remaja yang belum bisa menentukan mana hal yang baik dan tidak, menjadikan rokok sebagai salah satu kebutuhan pokok mereka. Hal ini masih sangat diterima olah masyarakat dikarenakan harga rokok masih tergolong sangat murah dibanding negara lain yang sudah mencapai ratusan ribu rupiah juga iklan rokok yang sangat menarik perhatian khususnya para perokok baru.
Tembakau memang bukan menjadi pengaruh utama tidak meratanya kesejahteraan di Indonesia, namun menjadi salah satu yang paling berpengaruh. Bapak Fuad Baradja juga menuturkan bahwa, mayoritas perokok justru merupakan orang-orang yang secara ekonomi, status sosial, dan pendidikannya rendah. Inilah yang menjadikan para perokok tersebut tidak mampu dalam memberikan gizi yang cukup kepada keluarganya dikarenakan uangnya habis dialokasikan untuk membeli rokok.
Hal ini perlu dikaji lebih jauh oleh pemerintah jika masih belum ingin mengendalikan penggunaan tembakau. Apakah ingin mempertahankan perindustriannya, atau memberikan inovasi baru khususnya kepada para pekerja di pabrik perusahaan rokok di Indonesia. Karena kesehatan dan kesejahteraan rakyat pun masih menjadi permasalahan utama negara ini. Sudah sepantasnya pemerintah mulai bergerak dalam melihat lebih luas perihal tembakau demi tercapainya tujuan ke-3 Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 yaitu Kesehatan yang baik dan kesejahteraan manusia. Memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia.
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2012/109TAHUN2012PP.HTM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H