Studi Islam di Barat sudah sejak lama menjadi perdebatan yang tidak terlepas dari kritikan dan tidak dapat terabaikan. Perhatian terhadap Islam sebagai objek kajian sebelumnya sudah muncul di Eropa sejak abad ke 12 Masehi. Keberhasilan Eropa dalam menjelajahi dunia Barat pada abad ke 15 menghidupkan kembali minat Eropa untuk mengetahui Islam menjadi salah satu agama penduduk di dunia baru tersebut. Sejak awal abad ke 17, beberapa perguruan tinggi di Eropa membuka bidang kajian bahasa Arab (Chair of Arabic Studies). Di Inggris Cambridge University menawarkan studi bahasa Arab mulai tahun 1632 dan Oxford University tahun 1636. William Bidwell di kenal sebagai bapak studi bahasa Arab di Inggris.
Kelompok orientalis dari kalangan missionaris sudah hadir sejak abad tengah dan tetap berlangsung sampai abad modern. Di antara kaum orientalis modern yang mendapatkan pendidikan missionaris adalah Zwemmer, Lammes, Macdonald, Palacious, de Focould, Watt dan Cragg. Kajian Islam yang dilakukan para orientalis sering kali di pandang oleh kalangan muslim tidak untuk ibu memahami Islam secara benar, tatapi untuk mendiskreditkannya.
Salah satu tokoh ilmuan muslim yang sangat gencar melakukan kritik terhadap studi Islam di Barat adalah Daud Rasyid. Ia meragukan pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa studi Islam di dunia Barat lebih unggul di bandingkan dengan di dunia Timur. Menurut Rasyid,studi Islam di Barat sampai saat ini tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam. Selain itu, karya ilmiah yang di hasilkan orientalis dalam bidang keislaman belum terlihat berarti di bandingkan dengan karya-karya yang di tinggalkan ulama. Satu karya yang bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadis (Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadist) dan sejarah sastra Arab (Tarikh Al-Adab Al-'Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya ini bermanfaat bagi orang-orang yang baru mengenal hadis, kitab-kitab ensiklopedi hadis yang lebih lengkap lebih dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadis, tetapietodenya berbeda. Kekeliruan dan kesalahan karya orientalis itu cukup banyak dan di himpun dalam buku Adhwa' Ala Akhtha' Al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa'ad Al-Murshafi.
Dari karya orientalis itu sebagian besar diwarnai oleh sikap-sikap, seperti memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah. Namun, secara umum, karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi para peneliti. Akan tetapi porsinya harus dilihat secara objektif dan tidak di lebih-lebihkan. Karena semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun yang modern.
Berbicara tentang sikap "objektif" dan "bebas" (tidak memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, dalam tulisan dan kajian para peneliti Barat tentang Islam sulit ditemukan sikap netral dan objektif. Terhadap kajian-kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim, ini merupakan sebagian dari dampak terjadinya perang salib antara Islam dan Kristen. Fakta ini menunjukkan pemikiran yang bernama orientalisme sering di curigai dan menuai banyak kritik.
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberepa kelemahan yang sulit dibantah oleh siapapun diantaranya :
1.Tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, kelemahan ini mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah.
2.Memiliki perasaan "superioritas" sebagai orang Barat. Mereka senantiasa merasa bahwa "Barat" adalah "guru" dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban.
3.Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin mereka yang tidak boleh di kritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Dengan demikian, penelitian yang di lakukannya di arahkan hanya untuk mendukung asumsinya, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas.
4.Banyak dari kajian orientalisme yang berkaitan kepentingan negara-negara yang mendanai kajian itu.
Tokoh lain yang pernah menyinggung kritik terhadap stidi Islam di Barat adalah Azyumardi Azra. Azra menyimpulkan tiga kritik.