Dari semula aku sudah mengaku, kalau aku hanyalah perempuan desa. Perempuan desa yang tidak cantik rupa apalagi penuh harta. Aku hanyalah perempuan yang besar dari kubangan lumpur. Makan dari lumpur, besar dari lumpur, sekolah juga dari lumpur. Bahkan semua yang ada di diriku juga semua dari lumpur. Lumpur desa yang tentu saja berbeda dengan lumpur kota.
Desa yang banjir di setiap musim hujan tiba. Dengan jalanan yang selalu becek setiap hari, karena aspal belum mau menempel di tanah kami. Desa yang selalu berdebu saat kemarau menyapa. Penuh peluh keringat warga desa kami yang tiada tempat berteduh karena semua habis dipakai sawah. Penuh debu karena tiada pepohonan yang menghalangi laju terbang debu. Jalanan berubah menjadi kerikil tajam yang siap menyakiti siapa saja yang lewat jika tidak bersahabat. Karena halus debu tiada lagi.
Maaf, aku hanyalah seorang perempuan desa biasa yang penuh cela. Lahir dari orang tua yang biasa pula. Masih pula dengan stempel ‘ndeso’. Berpakaian dengan gaya ‘ndeso’, berbicara juga masih dengan logat ‘ndeso’, berfikirpun juga masih dipenuhi nuansa ‘ndeso’. Maaf, karena aku berani menerima cinta salah satu dari kalian. Maaf, karena aku juga mencintainya. Maafkan aku, karena dia akhirnya memilihku dan memperjuangkan aku. Maaf, jika akhirnya dia mengajakku untuk masuk di lingkungan ini.
Bertahun berlalu tanpa mampu mengubahku yang memang asli ‘ndeso’ dan sangat mencintai desaku. Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi harapan kalian. Harapan yang membuatku semakin tertekan. Harapan yang sulit buatku, buatku yang hanyalah orang desa ini. Jika saat ini kau bilang kau tidak suka, itu sudah terlambat. Karena aku sudah mengaku di awal. Mengakui semua tentang siapa diriku. Seperti kata pepatah, ‘cinta tidak harus memiliki’, akupun sudah jika memang aku tidak bisa memilikinya. Mengapa kau berkata iya jika hatimu bertolak belakang.
Kini, meski aku sudah berusaha, meski aku berlari tuk mengejarnya, aku tetaplah aku. Aku tidak bisa meninggalkan atribut ‘desaku’. Aku sangat mencintainya dengan segala air yang datang di waktu penghujan. Cinta dengan segenap debu yang senantiasa terbang saat kemarau menyapa. Aku adalah erempuan dari desa yang masih sangat mencintai desanya.
Maaf, aku belum bisa menjadi ipar yang kau harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H