Mohon tunggu...
Sabiruddin Santaner
Sabiruddin Santaner Mohon Tunggu... -

Anak bungsu dari dua bersaudara yang melewati masa kecil sekolahnya secara nomaden. Dari kota ke desa,-desa ke kota, secara berulang-ulang. Sejak 2003, untuk kali pertama menginjakkan kaki di pulau Jawa. Tak terasa, selama tujuh tahun menimba ilmu di daratan Jawa telah dilakoni. Dan saat ini memperpanjang pencarian ilmu dengan menjadi mahasiswa paca sarjana, kajian budaya dan media, UGM. Meskipun ada teman yang baru dikenal dan bertanya "Ikut SNMPTN tahun ini ya mas"?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengejar Impian...

5 September 2010   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

AWALNYA, aku tidak pernah berfikir untuk menuangkan perjalanan hidupku ke dalam sebuah catatan sejarah pribadi. Kalau boleh jujur, aku tidak memiliki kemampuan lebih dalam “ mengemas” untaian kata, kalimat, kekayaan bahasa menjadi sajian kecil buat orang lain. Namun, logika yang aku pakai adalah  subyektifitas dan pengalaman, sehingga goresan ini hanya cerita, kelak menjadi cerita buat anak cucu yang tentu memiliki zaman dan peradaban sendiri, serta cerita berbeda. Berawal pencurian inspirasi, suatu malam ( 18 Juli 2010), ketika secara tidak sengaja membaca catatan perjalanan roman kehidupan dan cinta seorang sahabatku….(maaf ya sobat)
SEMBARI menunggu pengumuman hasil seleksi program pascasarjana di Salah satu perguruan tinggi negeri yang masuk dalam rangking terbaik di Indonesia dan Asia, persis di Yogyakarta, long time memory ini diputar dan menjangkau kembali beberapa tahun lalu….
“Kalau lulus, maka aku akan berpuasa selama satu minggu”,  nadzarku. Saat itu, ratusan ribu anak di negeri ini dilanda kebingungan, was-was, ketakutan, dan terasa waktu begitu lambat berputar, seakan melawan teori gravitasi tanpa ada perputaran waktu. Bukan hanya pasukan abu-abu, tetapi orang tua dan gurupun juga dihadapkan pada persoalan tersebut. Tepatnya tahun 2003, ketika pendidikan di negeri memasuki satu gebrakan sistem yakni adanya standar kelulusan untuk pertama kalinya. Menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN), tekanan psikologis semakin mendera, sehingga kekuatan spritualpun menjadi alternatif dan ampuh memberi jalan pada ketakutan ini. Takut dan malu jika nanti hasil ujian tertera bahwa saudara dinyatakan Tidak Lulus. Oh my God, apa yang terjadi jika itu benar-benar aku alami, padahal bisa dikatakan aku siswa berprestasi se-jagad kampung. Benar adanya, sejak masuk Sekolah Dasar hingga menamatkan sekolah MT’s As’adiyah di desa Santan, rangking satu dan dua selalu bertengger padaku, kecuali pada saat kelas II SD sempat kewalahan dan mengalami pertarungan yakni menjadi siswa naik kelas tiga dengan predikat "percobaan". Saat itu, aku dan orang tua hijrah ke Bontang sehingga terpaksa merasakan sekolah di Kota Bontang selama satu tahun, yang akhirnya kembali ke habitat awal.
Setiap tengah malam mata ini terbangun dari kesunyian, hanya ada suara angin yang terkadang terhembus memasuki bangunan sederhana berukuran 6 kali 15 meter, ya rumah kami memang kurang afik, sehingga udara dengan bebas masuk tanpa terpantul mencari ruang. Sekali-kali percikan air terdengar tak kala tubuh di basuh dengan dinginnya air malam itu, sebagi pertanda satu pengsucian tuk menghambakan diri pada ke Kekuasaan Nya. Di akhir shalat malam tersebut, dengan segala kerendahan hati, aku berdo’a;

Ya Allah aku sudah belajar dengan maksimal
hanya itu yang bisa hamba lakukan
Pada saat penguman nanti, akan menjadi sejarah baru dalam hidupku
Dan awal menentukan langkah. Apakah harus terhenti atau menatap impian?
Ya Allah semoga terjadi keajaiban jika memang kemampuan tak mampu
Kuingin mengejar impianku….”

Setelah melewati Ujian Akhir Nasional dengan penuh perjuangan yang dibarengi dengan kekuatan doa setiap tengah malam dan dibantu dengan nadzar. Meskipun belakangan aku sadari bahwa seorang teman mengatakan orang yang bernadzar adalah orang pelit, karena mau melakukan kebaikan jika harapanya dikabulkan oleh Allah. “Argumentasi jelas ada di Hadis”, kata temanku.  Meskipun aku tidak pertanyakan bagaimana kajian sanad dan matannya. Bagi aku, logikanya diterima.
Mesipun masih harus menunggu sampai pengumaman hasil UAN keluar, sebagai anak kelas III di Yayasan SMU Bahrul Ulum Kota Bontang. Aku dan teman-teman angkatan 2000 tidak mau meninggalkan satu tradisi secara turun temurun di rayakan. Tepat setelah pak Sunaryo memberikan arahan, kata-kata bijak, dan motivasi, yang kemudian dilanjutkan kata-kata perpisahan dari siswa pada rangkaian acara perpisahan. Aku berinisiatif untuk mengabadikan moment indah tersebut, meskipun sekali-kali aku dan teman terbayang bagaimana nanti hasil ujian kami, lulus atau  tidak lulus?. Ide pengurus yayasan, pak Sunaryo sebagai kepala sekolah, dan para guru-guru untuk melakukan acara perpisahan kelas III sebelum ada pengumuman, sebenarnya untuk menghindari adanya kebahagian di atas air mata siswa yang tidak lulus. Ide dan konsep tersebut sejalan dengan aku dan teman-teman tuk membagi kebagaian bersama, meskipun pada konteks yang berbeda, Akhrinya, aku dan teman-teman mengumpulkan kocek untuk membeli beberapa filox. Filox tersebut digunakan untuk coret-coret seragam sebagai akhir masa sekolah dan hadiah terindah dari teman-teman. Hampir semua siswa kelas III melakukan tradisi tersebut, hanya beberapa siswa yang tak melakukan, yang jelas mereka punya alasan tersendiri. Hari itu, kami larut dengan senyum, kebahagian, tawa, canda. Suarapun terdengar riuh saling memanggil untuk mendapatkan coretan ataupun tanda tangan. Sungguh bangga rasanya melakukan hal itu. Bahkan kami berperan bagai aktor yang lagi tenar dan banyak fans histeris untuk mendapatkan sebuah coretan dalam sebuah panggung.
HARI yang dinantipun tiba, tepatnya bulan Maret 2003, dari sekian lama menantikan pengumunan UAN, akhirnya akan diumumkan esok pagi di sekolah. Malam sebelumnya, sempat befikir “seandainya besok pagi aku tidak lulus maka habislah riwayatku, matilah impianku”. Dalam keluaraga, hanya aku tumpuan harapan, putra bungsu dan hanya memiliki seorang kakak. Meskipun keluargaku adalah keluarga kecil, tapi secara ekonomi tergolong keluarga miskin. Ya, ibu aku hanya seorang penjual kue dan aneka jajan di sekolah yang berada di dekat rumah. Sementara ayahku, sudah sering kali mencoba mencari pekerjaan pada sebuah perusahaan Batu Bara yang mengeksploitasi SDA pada desa kami, namun karena karena keberuntungan tidak berpihak, sehingga ayah aku hanya becocok tanah pada sebidang tanah sejak di PHK oleh perusaan yang ada di Berau. Keadaan ekonomi yang menjepit seperti inilah yang membuat kakakku menghentikan impiannya untuk menjadi ahli fiqh. Setamat di Pendok Pesantren As’ Adiyah Sengkang, Sulawesi Selatan dia dengan terpaksa menerima kenyataan untuk tidak menikmati pendidikan lewat bangku kuliah. Malam itu, aku larut dalam angan-angan dan realitas kehidupan keluargaku. Jika Allah mendengarkan doaku dan aku lulus. Maka, apakah aku juga harus menghentikan impianku, seperti yang penah dialami kakakku. Sungguh kejam dunia ini, sungguh mahal pendidikan ini di negeri ini, sehingga dua orang bersaudara harus berhenti mengejar impian….
Pepatah bijak mengatakan “kejarlah impianmu dan bercita-citalah setinggi langit” dalam sebuah hadis dikatakan pula “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Kedua pesan tersebut memiliki korelasi dan tepat sebagai nahkoda impianku. Namun, apa mungkin aku bisa mencapai impianku dengan jika hanya tinggal di kampung yang ada hanya jenjang MI, SD, MTs dan SMP PGRI?, apa mungkin aku bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga jika akhirnya hanya bisa menjadi buruh perusahaan Batu bara, apa bisa menjadi orang tanpa pendidikan yang layak? Apa bisa, apa bisa, apa bisa. Bertubi-tubi pertanyaan pesimis dan keputusasaan yang muncul. Akhirnya, aku terbangun dan tiba-tiba teringat nasib besok yang berada di depan mata. Apa mungkin besok pagi aku bisa lulus?
Keesokan pagi, aku bergegas mandi dan berangkat ke sekolah dengan motor pinjaman dari tante. Kaki ini melangkah dengan cepat, hati cukup damai, dan menyakinkan diri dengan firasat baik, serta membawa sejuta harapan. Sesampai di sekolah, sudah terlihat beberapa teman yang lebih duluan datang. Dan dengan senyum mengatakan, alhamdulliah….SABIR kamu lulus dan terbaik kedua dari jurusan IPS, meskipun teman kita ada 8 orang yang tidak lulus, jelas Edi.
Alhamdulillah ya Allah, aku lulus dan mudah-mudahan aku bisa kuliah. Setelah memastikan dan konfirmasi langsung kepada dewan guru tentang hasil kelulusan. Aku dan teman-teman melakukan coret-coret jilid 2, dan ritual coret-coret tersebut lebih banyak diikuti siswa karna hampir semua siswa yang ada di Bontang melakukannya, perayaan kelulusan tersebut kemudian dilanjutkan dengan konvoi sepeda motor secara berarak-arakan keliling kota. Ini adalah kemengan dan hasil perjuangan beberapa bulan terakhir.
HARI itu, aku mulai berfikir tentang kampus mana yang bisa aku jadikan tempat untuk menimba ilmu. Yang jelas, harapan besar itu aku tanamkan dalam dalam. Suatu pertanyaan yang membuat aku begitu bersemangat “ Mau kuliah dimana dan ambil jurusan apa, insya Allah biar aku yang menaggung kebutuhannmu?” Tanya Nasrullah, kakakku satu-satunya. Ya, sebenarnya aku juga sadar kalau sebenarya orang tua sudah diluar kemampuan mereka untuk membiayai kuliah. Jangankan biaya kuliah, pendapatan keluarga hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, jadi sangat tidak mungkin untuk melanjutkan kuliah jika hanya bermodalkan semangat, geramku. Sementara, kakakku yang sudah berkeluarga dan hanya menjadi buruh di perusahaan batu bara yang mempekerjakan putra daerah bagai mesin, hanya mampu menghidupi istri dan kedua anaknya. Beruntung, hidup di kampung, banyak hal yang tidak harus dibeli seperti kebutuhan sayur mayur, tidak ada pengeluaran air bersih, dan listrikpun hanya ada pada malam hari, artinya tagihan listrik tidak terlalu mahal karena sejak tahun 1995 sampai sekarang PLN di desaku padam di siang hari. Padahal kabupaten tempat kelahiranku memiliki PAD dengan angka yang fantastis dan dinobatkan sebagai kabupaten terkaya di Indonesia.
Kakakku tidak ingin mewariskan pengalaman pahitnya, yang terpaksa harus kandas karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan ke bangku kuliah. “Sebenarnya aku ingin kuliah di Yogyakarta, dan ambil jurusan Bahasa Inggris” jawabku. “Cuma ibu melarang aku kuliah jauh-jauh, apalagi di Jawa, saran beliu, aku kuliah di Makassar aja karena om dan tante banyak di sana” jelasku. Informasi tentang Yogyakarta dan Peguruan Tinggi sudah banyak aku ketahui, bahkan menuju kesana aku yakin bisa. Sejak kelas III aku sudah rajin mencari informasi tentang perguruan tinggi dan jurusan melalui sepupuku yang sudah menjadi mahasiswa di Bahasa Inggris di FKIP Unmul. Sementra, untuk perjalanan menuju Yogyakarta, aku masih ingat catatan dan rute yang pernah diberikan oleh omku ketika pulang ke Bontang dan pamitan sama keluarga karena hendak melanjutkan program S2 di negeri Paman Sam.

Dalam catataku yang masih kusimpan dengan rapi, tertulis rutenya adalah dari Bontang naik travel ke Balikpapan, dan naik kapal menuju Surabaya, dari Surabaya cari lagi travel di Pelabuhan Tanjung Perak tujuan Yogya atau bisa juga naik bus menuju terminal Bungurasih Surabaya, dan dari terminal naik bus antar kota/provinsi menuju Yogyakarta.

Sebenarnya, aku yakin bisa sampai di Yogyakarta dengan berangkat sendirian meskipun tidak ada alamat yang aku tuju. Cuman restu dari orang tua tidak ada, maka akupun urungkan cita-cita untuk kuliah di Yogyakarta.  Teringat, ketika terjadi perdebatan yang alot antara aku dan ibu pada saat mau masuk sekolah MAN. Saat itu, ibu menyarankan sekolah di Bontang dengan pertimbangan dekat dengan rumah, mudah pulang, dan bisa tinggal di rumah family. Saran tersebut dengan keras aku tolak dan memberi ultimatum “Kalau bukan di MAN Samarinda aku sekolah, maka lebih baik aku tidak usah sekolah dan menjadi pemuda kampung tanpa pendidikan”. Mesipun ibu ku hanya sempat duduk dua tahun di Sekolah Dasar, tapi bagi beliau pendidikan anaknya jauh lebih penting. Sehingga ultimatumku sangat ampuh dan dengan terpaksa membiarkan keinginanku sekolah di Samarinda, meskipun pada akhirnya aku kembali sekolah di Bontang karena tidak lulus ujian tulis, saat ujian aku lupa menulis nama pada lembar jawaban. Ini adalah akibat ketika tidak mendapat restu dari orang tua.Kejadian tersebut menjadi pelajaran berarti buat aku. Dan kali ini aku dengan legowo mengaminkan saran beliau, meski masih terjadi pergolakan dalam hatiku. Tapi sudahlah, bukankan harapan, doa, impian, angan-angan, dan cita-citaku hanya ingin kuliah, mungkin di Makassarlah tempat untuk menggapai semua mimpiku selama ini.
Dua hari sebelum berangkat ke Kota Daeng. Semua keluarga nginap dan berkumpul di rumah, ada kakak, kakak ipar, satu orang ponakan laki-laki dan seorang ponakan perempuan, serta tante dan nenek dari garis ibu. Sudah menjadi tradisi dalam keluarga besar kami jika ada anak yang akan berangkat menuntut Ilmu di negeri seberang, maka kumpul keluargapun pasti ada. Begitulah kehidupan orang desa, begitu akrab, sederhana, bersahaja, dan tidak ada ruang pisah antara tetangga dan seakan menyata dengan alam. Malam itu, di awali dengan makan malam bersama dengan menu sedikit istimewa dengan konsep lesehan menambah kebahagian tersendiri bagiku. Setelah itu, akupun bergegas memilih sejumlah lembaran pakaian sehari-hari yang akan dibawa, tak lupa siapkan ijazah dan nilai akhir ujian sebagai tiket untuk mendaftar di kampus ayam jantan. Tak lupa ibu dan bapak mengingatkan membawa 2 lembar kain sarung yang nantinya menjadi teman ketika hendak menghadapkan diri kepada ke besarNya. Sementara, kain sarung satunya menjadi teman di kala tubuh merasa dingin. Setelah semua persiapan dianggap selesai dan dimasukkan ke dalam tas berwarna coklat. Aku dan keluarga berkumpul di ruang tengah. Prosesi nasihat dan petuahpun di mulai. “Nanti di sana, jangan lupa rajin shalat, karna bagaimanapun tingginya pendidikan sesorang tapi kalau tidak shalat tidak ada gunanya”,  pesan Ibu. Aku yakin pesan tersebut mengingatkan kita pada konsep keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat dalam mencapai kebahagian. Sementara, ayah berpesan “Jangalah sikap di negeri orang dan hindari sesuatu yang dapat mencelakakan diri”. Petuah ini yang akan selalu menemani setiap langkahku. Sepertinya, kakakku tidak ketinggalan menitipkan satu pesan “Rajinlah belajar dik, karena kesempatan hanya datang sekali”. Kulihat di mata kakak semata wayangku menitipkan harapan, seakan berkata hanya akulah yang dapat melanjutkan impiannya yang sudah terlambat karna dia sudah tidak ada daya untuk kembali mengejar mimpinya. Nenekpun sedikit memberikan bekal agar saya mendapatkan pertolongan Allah yakni rajin mengamalkan salah satu surah setelah shalat magrib dan subuh. “khulla yusibhanaa…”. Pintanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun