Hari ini adalah hari permulaan diawal tahun 2016. Gue yakin miliaran orang di dunia hari ini memulainya dengan resolusi yang mereka buat. Berharap impian itu bakal jadi nyata di tahun ini. Gue juga begitu. Satu hal yang Gue yakini, kita semua berangkat dari semua mimpi, termasuklah perjalanan yang Gue lakuin sekarang. Semuanya dulu cuma mimpi, mimpi Gue dengan dua sahabat Gue. Sayangnya, sementara ini hanya Gue yang ada di perjalanan ini. Sahabat Gue udah pada sibuk, satu udah mulai kerja di jakarta, nah yang kedua lagi berjuang buat lulus kuliah. Tahun 2013 impian ini kami buat, dan baru kesampaian sekarang. Kaki Penantang, begitu kami menggelarinya. Sebuah rencana perjalanan menyusuri pulau Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Sulewesi, dan Papua. Semoga di perjalanan selanjutnya, personil Kaki Penantang bisa lengkap, yaitu Gue dan kedua sahabat Gue itu.
Seseuai rencana, malam ini Gue bakal melanjutkan perjalanan ke Semarang, Kota tujuan Gue selanjutnya. Tiket travel sudah dipesan, Gue udah siap berangkat.
Malamnya telepon Gue berdering.
Telepon berdering adalah salah satu momen langka untuk para jomblo kayak Gue. Senangnya hati Gue, apa lagi pas Gue liat nomor yang memanggil nggak ada namanya. Nomor baru. Jangan-jangan ini pemuja rahasia Gue yang udah lama pengen dengar suara Gue. Pemuja rahasia, yang udah susah payah buat nyari nomor Gue. Jangan-jangan pemuja rahasia ini nelpon buat ngajak ketemuan. Gue bersiap dengan kemungkinan itu, Gue jawab teleponnya,,
“Nusantara travel mas, kami sudah di depan gang”
#K@MPR*T
Mission fail.
“Iya Mas, saya segera keluar” Suara Gue lirih.
Gue pamit dengan temen Gue. Banyak yang Gue sampein ke temen Gue, mulai dari terimakasih karena udah mau Gue repotin selama di Surabaya. Udah mau numpangin Gue tidur, ya walapun tidur di ruang tamu, nggak dikamarnya, ya nggak apa-apa lah. Terus Gue undang dia buat ke Bandung, atau kalau suatu saat Dia ke Bandung Gue suruh Dia buat ngehubungi Gue, biar Gue bisa balas kebaiknnya dengan yang setimpal, Gue juga bakal suruh dia tidur di luar. HAHAHAHA.
Gue pun berangkat.
Pukul 06.00 pagi Gue sampe di Semarang. Gue minta diturunin tepat di kantor Walikota Semarang, berdasarkan rute yang Gue liat di google, disitu tempatnya strategis, mau kemana-kemana gampang. Supir travel pun bersedia ngantarin Gue tanpa bayaran tambahan tentunya.
Nggak lama mobil berhenti.
“Udah sampai Mas”
“Ok Pak.”
“Ada barang di bagasi Mas?”
“Ada Pak, tas saya.”
Sang sopir pun turun, lalu ngambilin tas Gue.
“Ini mas, nggak apa-apa ya di turunin di sini?”
“Nggak apa-apa Pak” jawab Gue sopan.
“Yakin Mas diturunin disini?” tanyanya agi.
“Iya Pak”
“Bener ya Mas?”
“Bener Pak” Gue masih sabar.
“Nggak salahkan Mas?”
“Bener Kok Pak?” Gue mulai naik pitam.
“Saya.....”
“Iya Pak Saya yakin saya turun di tempat yang benar” Ucap Gue memotong ucapan sang Supir.
Sang supir menangguk. Lalu masuk lagi ke mobilnya. Tatapannya masih ragu, Dia kembali melempatkan padangannya ke Gue. Sumpah tatapannya penuh keraguan kalau Gue bakal selamat di Semarang. Sepertinya tatapannya menggambar sesuatu bahwa bakal terjadi sesuatu dengan Gue.
Dari kaca spion, Sang sopir masih memandang Gue. Gue balas dengan senyum, sambil melempar sepatu. Nggak itu Cuma bercanda aja. Nggak Gue lempar pake sepatu kok, tapi pake senyum yang berarti “Tenang Pak, Saya bakal selamat kok”. Sang sopir lalu menginjak gas mobil, dan berlalu.
Mobil berlalu. Gue pun tenggelam dalam rasa puas, sambil meneguk udara kota Semarang di pagi hari.
Dan satu masalah pun muncul. Pembaca yang budiman tahulah, akan ada tamu yang hadir disetiap pagi. Terutama untuk orang-orang dengan sistem pencernaan yang lancar. Gue salah satu dari orang-orang dengan sistem pencernaan yang lancar, dan tamu itu selalu datang tepat waktu.
Gue lirik-lirik nggak ada mesjid. Nah disini Gue lurusin dulu, kenapa setiap kebelet orang-orang selalu nyariin mesjid, bukannya WC umum. Pertama karena mesjid selalu menyediakan WC, kedua karena kita nggak mau ngeluarin uang 2000 perak untuk itu. Nah, ada yang ngomong ke Gue, masak sih image mesjid cuma buat buang itu. Sebenarnya nggak sih, mesjid tetaplah untuk ibadah. Nah ada juga yang memanfaatkan mesjid cuma untuk itu doang, Gue dan kaum-kaum yang kayak Gue aja. Kita juga punya alasan sendiri. Pertama, udah kebelet, kedua karena kita pelit, ketiga ya karena iman kita lemah doang. HEHEHE.
Sayangnya mesjid nggak Gue temuin. Terpaksa Gue mutar otak, sementara yang dibawah udah maksa pengen lepas. Gue lirik kanan kiri, depan belakang, lalu jalan di tempat. Ini apaan sih kok jadi kacau gini. Mungkin kebelet efect. HAHAHA.
Pertolongan itu pun datang. Setelah melangkahkan kaki sekitar dua ratus meter dari tempat semula, Gue ngeliat minimarket yang manjamur itu, Gue nggak mau sebut merek ya, takutnya dituduh promosi.
“Minimarket itu kan selalu sedia WC ya kalau nggak salah. Kesitu aja lah” benak Gue.
Lagi pula ada dua keuntungan yang Gue peroleh, pertama Gue diucapin selamat pagi pas masuk, ya sambil menyelam sambil minum airlah, buang hajat sekalian membayar kerinduan akan ucapan “Selamat Pagi”, maklum udah lama nggak dapet ucapan selamat pagi.
Berdasarkan hitung-hitungan cost and benefit itu, nggak ada tempat lain, dan yang kondisi dibawah udah nggak bisa diajak kompromi, Gue pun memilih ke minimarket itu. Gue lari-lari kecil, menghindari getaran yang berlebih takutnya yang dibawah keluar tanpa permisi.
“Selamat Pagi” ucap seorang pramuniaga minimarket tersebut.
Dan saudara-saudara, Gue kecewa, karena yang ngucapin “Selamat Pagi” itu pramuniaga berkumis, berambut klimis. Harapan Gue di ucapin “Selamat Pagi” sama cewek bersuara manis, berambut terurai pun buyar. Gue pun ngelongos ke WC, tanpa permisi.
Dua puluh menitan kemudian, urusan dengan tamu dipagi hari itu kelar. Semua aman terkendali. Gue juga udah bebersih muka, gosok gigi dan pakai parfum sebanyak-banyaknya untuk menghindari bau badan, karena Gue nggak sempat mandi. Nggak mandi bukan karena Gue males mandi pagi ya, pertama karena WC minimarket itu nggak nyediain fasilitas buat mandi, kedua, Gue nggak mau cuma gara-gara mandi sembarangan Gue digebukin sama karyawan minimarket karena bikin kotor WC.
Gue keluar dengan muka yang udah lumayan bersih, walaupun pembersih muka terkenal yang Gue pake nggak sedikitpun ngerubah tingkat kegantengan Gue. Gue ngerasa ketipu, karena efeknya nggak kayak iklannya di TV. Nyatanya nggak ada perubahan yang berarti dimuka Gue. Muka Gue masih segitu aja. Masih memprihatinkan.
Satu pramuniaga memandang Gue sinis pas Gue keluar dari WC.
“Hmmm, kesini cuma buat numpang ke WC doang”
Itu terjamahan yang coba Gue tangkap dari tatapan sinis si pramuniaga.
“Tenang mas, saya bakal belanja kok” Ucap Gue sambil menepuk pundak sang pramuniaga.
Sang pramuniaga terkejut. Mungkin dalam pikirannya tengah bergejolak, dari mana Gue tahu apa yang dia pikirkan.
Gue tepuk lagi pundaknya. Sang pramuniaga bengong. Lalu ngeluarin dompetnya. Ngasihin Hpnya, jam tangannya dan harta bendanya yang lain. Dia Gue hipnotis. Nggak ini mah karangan Gue doang, dia nggak Gue hipnotis, tapi Gue gendam. Cuma bercanda aja ya, jangan dianggep beneran.
Biar nggak keliatan banget kalau Gue cuma mau numpang Wcnya aja, Gue putusin dech buat beli segelas kopi, lagi pula pagi-pagi emang paling enak kalau ngopi. Entah siapa penemu ngopi di waktu pagi untuk pertama kalinya. Hingga kebiasan ngopi itu emang anak kalau dipagi hari.
Mungkin dulu, entah ditahun berapa masehi seorang Raja minta dibikinin kopi sama pembantu kerajaan. Sang Raja minta bikinin kopi di malam hari waktu itu, tapi yang ada justru sang Raja jadi nggak bisa tidur. Sang Raja lalu marah-marah sama pembantu kerajaan esok paginya. Sebagai bentuk permohonan maaf, sang pembantu kerajaan lalu kembali membuatkan kopi untuk sang Raja. Walaupun dadanya disesaki oleh amarah, sang Raja tetap menyeruput kopi buatan sang pembantu kerajaan. Sang Raja pun keheranan setelah ceruputan pertama.
“Hei hamba kerajaan!, Apakah ini kopi yang sama dengan yang hidangkan semalam kepadaku?” tanya sang Raja gagah.
“Iya, Paduka yang mulia” jawab sang pembantu kerajaan takut.
Suasana hening.
Sang pembantu kerajaan semakin takut. Karena sang Raja yang terkenal seram dan tak segan-segan buat memenggak kepala orang. Apa lagi dua hari yang lalu, seorang tukang kebun terpisahnya nyawanya dengan badan, lantaran ketahuan memotong rumput dengan pedang keramat sang Raja. Sang Raja murka. Dan kejadianlah peristiwa yang nggak pantas buat Gue tulis disini.
Sang Raja masih diam, sambil seperti memainkan sesuatu didalam mulutnya.
“Kopinya lebih enak” Ucap Sang Raja tersenyum.
“Umumkan ke seluruh wilayah kekuasaanku, bahwa minum kopi yang enak itu dipagi hari”
Sang pembantu kerajaan bernafas lega. Lalu diangkatlah dia menjadi patih kerajaan, hanya karena segelas kopi yang Ia buat.
Perintah sang Raja pun ditunaikan. Jadilah seluruh rakyat minum kopi dipagi hari, dan rasanya memang lebih enak.
Nah, pembaca budiman, mungkin begitulah ceritanya ya. Anggap aja bener ya, tapi jangan terlalu percaya. Percaya mah sama Allah swt, bukan sama tulisan Gue.
Setelah tegukan terakhir, Gue pun ngelanjutin perjalanan Gue di Kota Semarang.
v
Tujuan pertama Gue di Semarang adalah Lawang Sewu. Bangunan bekas stasiun kereta api di zaman belanda masih berjaya. Yang katanya banyak hantunya. Dan nggak jarang acara-acara yang berbau misitis itu menantang orang-orang yang berani buat ngadu nyali digedung tua itu. Tapi pas Gue kesana, nggak ada tu nuansa mistisnya, atau mungkin karena Gue kesitu dipagi hari ya, kalau malem mungkin suasananya bakal beda. Berhubung Gue nggak seberani itu, Gue urungkan niat buat berkunjung dimalam hari.
Sesuai dengan namanya Lawang Sewu atau seribu pintu, emang banyak banget pintunya. Sebuah teknik arsitektur yang unik menurut Gue. Nuansa eropanya kental banget. Ibarat kata, Lawang Sewu itu eropa ditengah-tengah kota Semarang, cocok bangetlah buat jadi tempat wisata. Nah buat yang penasaran, saran Gue jangan ragu buat kesini, tiket masuknya murah kok, dan Gue udah buktiin sendiri, Lawang Sewu nggak ada serem-seremnya.
Karena udah nggak dimanfaatkan sebagai stasiun, sekarang Lawang Sewu beralih fungsi jadi museum. Sekalianlah wisata sambil belajar sejarah perkereta apian di Indonesia. Percis yang kayak Gue lakuin, ya walaupun lima belas menit setelah jauh dari Lawang Sewu Gue udah lupa dengan apa yang tadi Gue baca. Tenang Gue udah ambil beberapa gambar, nanti bisa diceklah ke akun media sosial Gue. Sekalian promosi akun isntgram Gue. Siapa tahu ada yang kecantol sama Gue. Bukan sama Lawang Sewu-nya ya. HAHAHAHA.
Lawang Sewu pun tercoret.
Tujuan Gue selanjutnya adalah Simpang Lima, letaknya nggak jauh dari Lawang Sewu. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dua puluh menitlah dengan berjalan kaki cepat. Gue pun menyusuri trotoar. Akhirnya Gue pun sampe di Simpang Lima. Simpang Lima itu sebenarnya seperti halaman luas ditengah kota, rumputnya hijau dengan semacam tiang bendera ditengahnya, dan disekelilingnya ada taman-taman dan tempat duduk untuk bersantai. Nah karena Gue kesini, pagi menjelang siang, jadi Simpang Lima lowong, hanya ada beberapa pasang kaula muda yang mungkin sedang dalam tahap pendekatan. Dari jauh Gue cuma bisa memandang lirih, dan menelan ludah iri. Sambil bertitah didalam hati : “Seandainya, Gue nggak jomblo.”
Gue pun melanjutkan perjalanan menuju Klenteng Sam Po Kong, tempat terkahir yang pengen Gue kunjungi di Semarang, dan Simpang Lima pun tercoret.
Setelah naik angkot sebanyak lima kali, karena sempet salah naik angkot, dimana yang seharusnya ke Klenteng Sam Po Kong hanya butuh waktu setengah jam, Gue jadi butuh dua jam setelah kesasar.
Gue bakal cerita sedikit momen dimana Gue kesasar. Sebelumnya Gue udah prasangka sih, karena pas naik angkot perasaan Gue udah nggak enak, begoknya Gue nggak langsung nanya ke supir angkot. Lama, setelah mengumpulkan keberanian dan setelah prasangka Gue semakin kuat kalau Gue salah angkot, Gue pun memberanikan diri buat nanya.
“Pak ini betul angkot ke Klenteng Sam Po Kong?” tanaya Gue cemas.
“Waduhhh” jawab sang supir angkot sambil menepuk jidat Gue. Eh bukan, jidatnya sendiri.
Sang supir melanjutkan ucapannya dengan logat jawa. Gue coba terjamahin sebisa Gue ya.
“Bukan Dek, Adek salah naik angkot”
#MAMPUS.
Gue mulai kelabakan.
“Ya udah Pak, saya turun disini aja”
Sang supir membalas lagi-lagi dengan logat jawa. Gue coba terjamahin lagi sebisa Gue.
“Iya Dek, agak kedepan ya”
Angkot pun menepi. Gue turun. Perasaan Gue pun mulai nggak tenang. Campur aduk, kayak gado-gado. Gue mulai kebingunan. Gue ditengah kota sekarang, tapi rasanya Gue tengah dihutan belantara. Efek bingung, Gue jadi nggak tahu harus ngapain.
Jadilah Gue berjalan tanpa arah, belok ke kanan lalu belok ke kiri, lurus hingga semakin jauh Gue dari tempat Gue turun dari angkot. Sampai akhirnya Gue berdiri disebuah tugu yang bertuliskan “Semarang Sejahtera”. Nyasar yang ngebawa hikmah buat Gue. Tugu ini cocok banget buat jadi objek foto, ya sebagai tandalah kalau Gue udah pernah kesemarang. Gue keluarin kamera, “Jempret” satu foto pun tersimpan, kemudian disusul beberapa foto lainnya.
Hari makin siang, Gue liat jam tangan, udah hampir jam dua belas siang ternyata. Pantas saja Semarang semakin panas. Gue masih di tugu “Semarang Sejahtera”, sampe akhirnya Gue sadar ada Bapak-bapak yang mungkin tukang taman yang lagi ngebersihin daerah sekitaran tugu. Dia menghampiri Gue, senyum Bapak-bapak itu lepas, Gue tahu senyum khas seperti itu. Gue mulai curiga. Tapi, karena Nggak mau kesasar lagi, Gue pun memberanikan bertanya.
“Permisi Pak, kalau mau ke Klenteng Sam Po Kong naik angkot yang mana ya Pak?”
“Sam Po Kong?” Bapak-Bapak paruh baya itu terlihat paham, lalu senyum lagi, senyum khas, Gue mulai curiga.
Bapak-Bapak itu lalu menayunkan tangannya hendak memukul Gue. Gue mengambil mundur cepat untuk menghindar, Gue selamat. Bapak-Bapak itu tesenyum lagi, mendekati tertawa. Gue semakin curiga dan bercampur takut.
“Tahu nggak Pak kalau mau Klenteng Sam Po Kong naik angkot yang mana?” tanya Gue mengulang.
“HAHAHAHAHAHAHA” Bapak-bapak itu malah tertawa. Gue mulai semakin curiga, kalau Gue nanya orang yang salah.
“Naik angkot itu” ucapnya sambil menunjuk angkot yang parkir.
Gue mengangguk, kecurigaan Gue pun buyar untuk sesaat.
“Naik angkot itu, lalu mutar-mutar jauuuuuuuuuuuh, keliling duniaaaaaaa.” Ucapnya, lalu ketawanya kembai pecah. Bapak-bapak itu kembali mengayun tangannya. Gue menghindar, dan mengambil langkah seribu.
Dan pembaca yang budiman, Gue nanya orang yang salah, Gue nanya ke orang yang sedang terganggu kejiwaanya. Untung aja Gue nggak kena pukulan Bapak-Bapak itu. Pelajaran moral yang Gue dapat adalah selain jangan malu untuk bertanya, perhatikan juga tingkah laku orang yang hendak kita tanya. Jangan sampe salah kayak Gue.
Dari jauh Gue sempetin buat ngambil gambar Bapak-Bapak paruh baya itu.
“Pak foto yaaaaaaa” Teriak Gue.
Bapak-Bapak itu mengambil pose seperti pahlawan bertopeng seperti di film Sinchan.
Gue menepuk jidat Gue sendiri.
v
Setelah turunn naik angkot hingga angkot yang kelima, akhirnya Gue berhasil turun di Klenteng Sam Po Kong. Rasanya puaaaaaaas banget. Apa lagi mengingat kejadian yang baru aja Gue alami, semuanya terbayar lunas. Senyum Gue mengembang gagah didepan gerbang Klenteng Sam Po Kong. Gue beli tiket, dan Gue pun masuk.
Perjalanan Gue menjejaki seluruh pulau Jawa pun berakhir, Surabaya dan Semarang adalah dua kota terakhir yang harus Gue kunjungi. Perjalanan Kaki Penantang sudah dimulai ditahun 2012, ketika itu Gue berhasil menjejaki Jakarta, dan Yogyakarta, untuk pertama kalinya. Setelah itu Gue semakin sering ke pulau Jawa, terutama ke Jakarta. Baru-baru ini Gue juga pulang dari Yogyakarta karena sesuatu dan lain hal. Ditahun 2013 Gue berhasil sampai ke Solo. Tahun 2014 Perjalanan berlanjut ke Bogor, mulai merambah Jawa Barat, setelah sebelumnya menginap dua hari di Kalimantan Tengah. Ditahun 2015 setelah puas meninggalkan jejak di Kota Bandung, dan sempat dua hari di Kota Malang. Surabaya dan satu kota Di Jawa Tengah adalah langkah terakhir Kaki Penantang dipulau Jawa. Surabaya telah menjadi perjalanan di penutup tahun, sementara Semarang, telah menjadi Kota yang pertama kali Gue kunjungi di awal tahun 2016, dan telah menjadi penutup bagi perjalanan Kaki Penantang.
Semua perjalanan yang udah terjadi hidup Gue semua yang dengan sengaja ataupun tidak, semuanya berawal dari impian sederhana Gue untuk menyaksikan Indonesia lebih luas lagi. Lebih dari kampung halaman Gue, Pontianak.
Dan Gue rasa, nggak masalahlah sebesar apapun, atau sesederhana apapun impian kita, yang terpenting seberapa kuat kita memperjuangkannya. Gue juga nggak bisa menyangkal, kalau kecewa itu pasti ada. Apa lagi, ketika yang kita impikan nyatanya nggak bisa jadi kenyataan. Gue juga kecewa, gagal bukan berarti impian kita gagal, bisa jadi Tuhan sedang menuggu waktu yang pas untuk kita. Jadi, jangan pernah lepaskan apa yang dulu menjadi impian kita, peluk erat dan jangan lupa untuk mewujudkannya.
Gue mungkin hanya segelintir orang yang berusaha mewjudkan impian Gue, masih banyak orang diluar sana dengan impian yang besar, yang juga berusaha mewujdukan impian mereka. Nggak ada salahnya belajar dari siapa pun, karena bukan siapa yang menyampaikan, tapi tentang apa yang disampaikannya, seperti kata orang bijak.
Entah siapapun kalian yang ngebaca tulisan Gue ini, bisa jadi kalian tengah berusaha mewujudkan impian kalian, bisa jadi kalian sedang kecewa, pesen Gue satu, jangan menyerah kayak lagu yang dinyanyiin D’Masiv, yakinlah usaha keras nggak akan pernah mengkhianati.
Gue tantang kalian buat memperjuangkan impian kalian.
Salam dari Gue.
Salam dari Kaki Penantang.
Sadarlah bahwa tak cukup hanya dengan bermimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H