Lalu, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa definisi dari konsumen ialah:
"Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Kembali pada pembahasan awal mengenai kemajuan dalam bidang perekonomian di Indonesia yang berubah secara cepat dan kompleks, akhirnya membentuk suatu perekonomian Indonesia yang terintegritas. Namun, perubahan yang cepat ini membawa suatu daya saing yang tinggi dan memaksa pelaku usaha untuk bisa terus mengikuti perkembangan yang ada, padahal untuk membentuk suatu aturan atau regulasi mengenai perubahan-perubahan tersebut cukup memakan waktu yang lama, dikarenakan perlunya suatu proses dan melewati berbagai pembahasan dan pertimbangan. Daya saing yang ada dapat dianggap sebagai tantangan penting bagi sistem perekonomian di Indonesia terlebih pada hukum persaingan usaha.
Perkembangan dalam dunia persaingan usaha ditandai dengan semakin meningkatnya perdagangan cross border e-commerce, perdagangan lintas batas atau negara. E-commerce adalah area dengan pertumbuhan tercepat dalam ekonomi global, yang memberikan kemudahan antara penjual dan pembeli. Kemudahan yang diberikan berupa perpendekan jarak dikarenakan transaksi dilakukan secara online dan dapat diakses oleh berbagai wilayah atau negara asalkan mereka memiliki teknologi dan informasi dan komunikasi (TIK) yang memadai, hal ini yang disebut dengan cross border e-commerce (Feng & Jiazhen, 2019).
Kemudahan yang diberikan dalam berbelanja secara daring atau secara e- commerce di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan Bank Indonesia (BI) mencatatkan bahwa transaksi perdagangan online atau melalui e- commerce bertumbuh ke arah positif pada saat kondisi pandemi. Peningkatan ini diproyeksikan sampai menyentuh angka Rp 429 triliun sepanjang tahun 2020 (Fika, 2020). Adanya hal ini tentu menjadi bunga harum bagi kemajuan perdagangan di Indonesia, karena para pedagang mau tidak mau harus bisa berinovasi dan mengikuti kemajuan teknologi yang ada. Berdasarkan hal ini, persaingan dalam dunia bisnis atau perdaganganpun akan semakin kuat. Namun, diharapkan adanya suatu persaingan yang sehat tanpa ada kegiatan monopoli atau persaingan yang tidak sehat yang nantinya akan berdampak buruk pada kondisi perekonomian di Indonesia.
Persaingan usaha yang sehat, bisa membawa perekonomian Indonesia kepada arah yang semakin baik dan positif, tetapi untuk membentuk, memperkuat, dan mendirikan suatu persaingan usaha yang sehat tidak bisa hanya dilakukan oleh pedagang atau pembeli. Diperlukan adanya bantuan dari pemerintah atau negara untuk bisa mengarahkan dan membimbing seluruh organ dalam dunia perdagangan di Indonesia untuk bisa menjadikan persaingan sehat menjadi satu-satunya bentuk persaingan usaha yang dijalankan. Dalam hal ini, negara memiliki peran untuk membentuk suatu aturan atau perundang-undangan yang mengatur jalannya gerak dari arah perdagangan terlebih mengenai persaingan usaha yang sehat untuk menutup celah-celah terjadinya kegiatan dagang atau persaingan monopoli di Indonesia (Syahmin, 2016, 4-6).
Apabila tidak ada suatu peraturan atau perundang-undangan yang membatasi gerak dari persaingan monopolistik, maka kebebasan yang berada dalam sistem pasar tidak jarang akan membentuk perilaku dari pelaku usaha untuk melakukan perbuatan yang membentuk struktur pasar yang memiliki sifat monopolistik atau oligopolistik. Pembentukan dari struktur pasar yang memiliki sifat monopolistik atau oligopolistik adalah suatu perwujudan dari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga diperlukan adanya pencegahan dan penanggulangan untuk hal ini (Mustafa, 2016, 1). Persaingan tidak sehat menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat didefinisikan sebagai kondisi persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atas jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Mengingat bahwa Indonesia sudah memasuki kondisi yang mana menunjukan bahwa masyarakatnya dapat dikatakan sebagai masyarakat pasar bebas, terdapat perdagangan yang dilakukan sudah berada pada jalur regional bahkan internasional. Mengingat belum tersedianya peraturan yang memadai mengenai prinsip ekstratoriterialitas dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, merupakan salah satu tantangan dalam menghadai dunia e-commerce ini. Meskipun terdapat acuan dalam peraturan mengenai e-commerce, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta terdapat pula pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, rasanya aturan-aturan ini masih kurang dalam mengikuti perkembangan zaman mengenai perdagangan dan transaksi jual beli yang sudah mengarah pada cross border e-commerce.
Pada saat melihat kondisi mengenai monopolistik dan persaingan usaha tidak
sehat, memang benar bahwa negara Indonesia telah membentuk suatu peraturan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, jangkauan dalam peraturan ini tidaklah cukup. Hal ini berkenaan mengenai kondisi penerapan prinsip ekstrateritorial persaingan usaha di Indonesia, terdapat hambatan dikarenakan sifat dari prinsip ekstrateritorial tidak sejalan dengan definisi Pelaku Usaha yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Definisi yang tertera dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengatakan bahwa "Menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia" sehingga terjadi kerancuan dalam batas ekstrateritorial sebab adanya frasa tersebut memberikan batasan untuk usaha asing yang berkegiatan di luar dari wilayah Indonesia.
Prinsip ekstrateritorial merupakan prinsip yang mengatakan bahwa suatu negara mempunyai wewenang untuk menerapkan sistem hukum atau aturan suatu negara pada wilayah yang bukan bagian dari negaranya. Pada prakteknya, hambatan dalam sisi prinsip ekstrateritorial ini berimplikasi pada tidak dapat dijatuhkannya hukuman atau sanksi kepada pelaku usaha di luar dari wilayah Indonesia, meskipun ternyata terdapat kepastian bahwa pelaku usaha baik secara perorangan atau badan hukum tersebut melanggar undang-undang monopolistik dan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat, amat disayangkan bahwa hal tersebut masih terbebaskan disebabkan tidak adanya peraturan yang mengikat serta terdapat pembatasan ekstrateritorial.