Pernyataan seharusnya laki-laki menjadi pemimpin mutlak di segala lini atas perempuan bagi sebagian kalangan memiliki dasar dalil firman Allah dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 34.
ar-Rijalu qawwamuna 'alan-nisa, bagi mereka menjadi sebuah spirit keyakinan dominasi otoritas laki-laki atas perempuan dalam kehidupan ini.
Memang, kalangan pemikir tradisionalis mayoritas menganggap ayat tersebut berbicara tentang superioritas laki-laki atas perempuan dengan menempatkan pihak pertama sebagai pemimpin dan pihak kedua sebagai yang dipimpin.
Sebagaimana redaksional ayat tersebut menunjukan hal demikian. Kata kuncinya pada lafadz "qawwamun" yang banyak diartikan sebagai pemimpin, "bima fadhdhalallah ba'adhaum 'ala ba'dhin" sebagai alasan anugerah kelebihan satu atas yang lainnya dan "wabima anfaqu min amwalihim" sebagai alasan sosio-ekonomis.
Namun, kalangan pemikir rasionalis mengkritik habis-habisan pemikiran ini, dan menganggapnya sebagai biang keladi dari munculnya ketidakadilan dan diskriminasi gender.
Bagi kalangan rasionalis, suatu ayat tidak harus dipahami secara normatif, melainkan dapat juga secara kontekstual. Dalam kasus ayat ini, tidaklah bersifat teologis, tetapi bersifat sosiologis.Â
Sehingga keunggulan laki-laki sebagaimana di utarakan ayat ini tidak bersifat teologis, melainkan fungsional. Baik laki-laki atau perempuan mempunyai keunggulannya masing-masing, dan itu tidak berarti satu melebihi yang lain.
Munculnya nada diskriminatif didasari oleh kenyataan faktual saat ayat ini turun, dimana budaya patriarki masih mengakar kuat. Sehingga ketika budaya itu bergerser ke arah egaliter, maka pemahaman demikian harus digugat, direkonstruksi dan dilakukan pembacaan ulang.
Pemahaman secara kontekstual berhubungan erat dengan asbabun nuzul ayat ini. Turun berdasarkan latar peristiwa Sa'ad bin Rabi' yang memukul istrinya, Habibah, karena melakukan nusyuz. Lalu Nabi menganjurkan pada Habibah agar membalasnya.
Namun, keputusan Nabi mendapat tentangan dari para sahabat karena menyelisihi kebiasaan umum masyarakat arab yang menganggap pemukulan terhadap istri sebagai hal lumrah.
Perbedaan pendapat antara Nabi dengan para sahabat adalah perbedaan antara konsepsi idealitas Islam yang diwakili Nabi dengan konsepsional realitas masyarakat yang diwakili para sahabat.