Perbincangan mengenai ketuhanan nampaknya masih akan selalu menarik dan terus diperdebatkan sampai sekarang. Bagaimana tidak, fitrahnya manusia memang diberi akal yang sebegitu menakjubkan yang membuatnya terus berkembang menyesuaikan zaman.
Salah satu pembahasan yang agak musykil dan menjadi diskusi hangat dikalangan para mutakallimun (teologi) adalah mengenai konsep beriman secara taqlid. Apalagi bagi kita yang hidup di Indonesia yang kental dengan tradisi manut kepada orangtua atau gurunya baik urusan duniawi atau ukhrawi. Lantas, apa itu taqlid? Dan sebatas mana seseorang dalam bertaqlid?
Para ulama ahli kalam (teologi) bersepakat bahwasanya wajib bagi setiap orang mukallaf mengetahui setiap aqidah ketauhidan walau hanya secara dalil ijmaly (global).
Seperti contoh ketika seseorang ditanya “apa dalil adanya allah SWT?” kemudian dia menjawab “adanya alam semesta” tanpa menyebutkan dalilnya, maka dinamakan dalil ijmaly dan sah keimanan seseorang. Lantas, bagaimana bila tidak mengetahui dalil sama sekali, dengan hanya taqlid kepada seseorang?
Imam al-Baijuri dalam kitabnya Tuhfatul Murid syarh Jauharat at-Tauhid menjelaskan bahwa iman secara taqlid ialah seseorang yang meyakini aqidah-aqidah ketuhanan dari guru atau orang lain yang dia percaya, dan dia yakin seyakin-yakinnya tanpa perlu mengetahui dalilnya.
Bisa kita ambil contoh semisal gurunya mengatakan “Allah itu maha melihat”, lalu dia yakin akan pendapat itu dan membenarkannya dalam hati. Dia tak tahu dalilnya, dan mungkin tak mampu menjawab bila didebat soal ini. Tapi dia yakin dan bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu tuli, dia akan mengingkarinya dan menganggap hal itu salah.
Setidaknya, ada enam pendapat mengenai status iman orang yang bertaqlid dengan uraian sebagai berikut:
1.Tidak sah imannya orang yang bertaqlid, maka orang yang bertaqlid dihukumi kafir, ini adalah pandangan imam Sanusi dalam kitab al-Kubra
2.Sah imannya orang yang bertaqlid namun dihukumi maksiat (berdosa) secara mutlak, baik dia mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor) atau tidak.
3.Sah imannya orang yang bertaqlid namun dihukumi maksiat (berdosa) jika dia mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor). Jika dia tidak mempunyai kemampuan mengkaji (nadzhor) maka tidak berdosa.