Judul Buku : Memoar Kehilangan Penulis : Sabiq Carebesth Penerbit : Koekoesan, Depok Cetakan :I, Januari 2012 Halaman : xxiv+89 “Puisi adalah ingatan/ Museum bagi jiwa yang kehilangan/ Waktu yang menjelma kenangan/ Agar tak musnah dalam kegilaan/ Dari zaman yang gemar lupa. (Puisi untuk Puisi, hlm 9)
Menghidupkan kenangan menjadi cara untuk melawan lupa, dan puisi, setidaknya oleh penulis buku kumpulan sajak “Memoar Kehilangan” ini dipilih sebagai medianya, ditempuh sebagai jalan kegilaan untuk melawan lupa. Puisi memang tidak berhubungan langsung dengan dialetika sejarah, karena ia bertopang pada kenangan. Konstruksi sejarah kadang dibuat untuk orang lupa kepada kebenaran, ketika sejarah seakan-akan digulirkan sebagai peristiwa publik.
Puisi, dalam buku kumpulan puisi “Memoar Kehilangan” yang di tulis Sabiq Carebesth ini tampaknya hendak menempatkan dirinya sebagai pilihan bentuk dari perefleksian tentang diri dari sebuah totalitas yang mendalam tentang waktu yang hilang. Kenangan yang pada akhirnya adalah milik siapa pun manusia, dan kemanusiaanya. Puisi-puisi itu mencoba menjadi abadi, dengan tetap menjaga diri berada dalam misteri, sehingga ia tak pernah tuntas di jelaskan. Karena puisi, setidaknya dalam kumpulan puisi “Memoar Kehilangan” ini, puisi menjadi rahasia dari penulisnya, sebuah dinding tanpa jendela, dinding yang oleh penulisnya sengaja dibiarkan kosong. Maka ia pun menjadi memoar dari memarnya waktu yang hilang berlalu. Sejarah tentang waktu; yang tak perlu deskripsi dan detail bukti dari kenyataan masa kini. Puisi-puisi itu akhirnya menjadi dokumen dari waktu. Ia hadir untuk membeku sehingga waktu di dalam puisi bisa di pegang, tapi dengan tetap menjaga jarak pada batas kenangan. Dalam hal itu puisi kemudian menjadi bentuk yang sanggup menjaga jarak primordial antara ungkapan rasa yang tampil samar-samar (yang mungkin membedakan dari bentuk tulisan lain seperti misalnya bentuk feature dalam jurnalisme, buku autobiografi atau bahkan novel). Namun walau pun samar-samar, sebagai akibat dari realitas yang dibalut dalam ragam metafora dan analogi, puisi tak sampai kehilangan bobot realitas yang dikandungnya dalam sebuah kenangan akan waktu dan ruang yang dibekukan dalam gerhana bahasa.
Bahasa menjadi sebuah wilayah, sebuah daerah. Ia terjaga. Seperti entitas yang selamanya tidak berubah lagi. Di sana, bahasa menandakan suatu waktu, suatu masa, keadaan. Pilihan katanya, diksi dalam puisi-puisi “Memoar Kehilangan” ini, menandakan bahasa sebagai sebuah waktu. Gerhana waktu yang membuat puisi-puisi Sabiq seperti sebuah perjalanan tidak untuk menempuh perjalanan itu sendiri, tetapi justru untuk berada dalam kendaraan yang mengangkutnya, yaitu bahasa.
Beberapa pilihan kata dalam puisi Sabiq seperti: kanvas jiwaku, semesta, kalbu, mahkota, senandung, seruling, nun muram, di bibir nasib, sulam kelambu merupakan diksi yang membuat bahasa berhenti di suatu waktu atau suatu masa. Munculnya kembali diksi kalbu dalam puisi Sabiq, mengingatkan kembali tradisi puitik maupun komunitas semiotik yang membuat diksi ini pernah penting sebagai konsep yang menjelaskan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas semiotik itu. Hal yang sama dengan ungkapan di bibir nasib, mahkota, tudung sutra biru atau sulam kelambu. Komunitas semiotik di mana tubuh dengan objek yang digunakan tubuh masih berlangsung sebagai hubungan langsung yang prosesnya bisa diikuti. Bukan proses instan dalam pabrik. Komunitas semiotik di mana kemerdekaan masih merupakan tema bersama: Yang meronta meminta tanda. Bahwa hidup kita merdeka (“Masa untuk idaku”).
Interior puisi seperti yang dilakukan Sabiq ini, pada satu sisi seperti melawan proses destabilisasi bahasa yang berlangsung terus-menerus sejak pemerintahan Orde Baru. Waktu sebagai dokumen beralih menjadi waktu sebagai memori. Memori yang terlempar, tersingkirkan. Bayangan di sini menjadi penting sebagai perayaan atas memori yang terlempar itu. Bahasa yang dihentikan atau terhentikan dari perjalanan perubahannya, dalam puisi Sabiq menjadi sebuah entitas dimana kita bisa menyimpan kepercayaan-kepercayaan kita, sejarah identitas, dalam peralihan waktu seperti ini. Dan memori diperlakukan sebagai ibu kandung dari kepercayaan maupun sejarah identitas ini. Hampir seluruh puisi-puisi Sabiq Carebesth dalam kumpulannya ini lahir sebagai gerhana bahasa dan gerhana waktu sekaligus.
Penyair Afrizal Malna dalam kata pengantarnya untuk buku ini, dalam membaca puisi “Kepada Penyair”: Adakah yang lebih tak seirama seperti antara penyair dan puisi?/ Tak pernah sepaham tak perah kan bersekutu/ Dibentangnya jarak sejauh-jauhnya batas jarak/ Setiap jeda adalah jalan pulang ketitik mula/ Setiap mula adalah jarak sejauhnya. (hlm. 85) menulis “Penulis atau penyair telah mati lebih dahulu sebelum sampai ke tangan pembacanya. Pembaca dilahirkan dari penyair yang terlebih dahulu “dimatikan” di dalam teksnya sendiri. Karena itu penyair merupakan kehadiran yang non-representatif dari puisi yang ditulisnya sendiri. Penyair telah dimatikan terlebih dahulu, sebelum pembaca melakukan hal yang sama berdasarkan berbagai strategi pembacaan”. Selamat membaca.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H