“Merdeka atau mati!” Seruan tersebutlah yang selalu diteriakkan oleh para pejuang sebelum 17 Agustus 1945. Namun keadaan sekarang berbeda—“(sudah) merdeka pun mati”!
Perbincangan yang menyenangkan dengan salah seorang wartawan media online siang hari tadi di kantor memberikan pengalaman yang sangat berkesan bagiku. Obrolan kami yang berdurasi kurang lebih satu jam itu begitu mengesankan hingga kemalasanku pun terperangi dan hatiku tergerak untuk membuahkan ‘curhat colongan’ dalam bentuk tulisan ini.
Sang wartawan yang menawan itu baru kembali dari kegiatan latihan kepemimpinan di Taiwan; dan aku pun kebetulan seorang gadis beruntung yang baru saja selesai menempuh pendidikan S1 ‘gratis’-nya di Taiwan lima bulan yang lalu. Maka topik dari pembicaraan kami tidak jauh dari hal-hal yang kami kagumi dari Taiwan dan yang kami sayangkan dari Indonesia.
Dari segi luas, Indonesia lebih besar daripada Taiwan—tentunya. Dari segi politik, tentunya, Indonesia sudah berdiri sebagai negara yang diakui dunia internasional baik secara de facto maupun de jure. Sedangkan untuk Taiwan, ya, kita semua sudah tahu jawabannya.
Menurut buku teks pelajaran, Indonesia sudah merdeka dari penjajah sejak 17 Agustus 1945. Namun menurut buku kehidupan nyata, Indonesia belum merdeka dari penjajah (yang berkedok di badan-badan pemerintahan sendiri). Ironis dan sedihnya, Taiwan yang justru belum memperoleh kemerdekaan penuh secara de facto dan de jure, mampu mensejahterakan rakyatnya; dan siapa pun yang tinggal di Taiwan dapat merasakan ‘kemerdekaan’ yang lebih berarti dari pada di Indonesia. Merdeka dari korupsi, penyuapan, birokrasi yang berbelit-belit, kemacetan lalu lintas, pelecehan di angkutan umum, rasa takut berjalan pulang larut malam, dan seterusnya (daftar sebenarnya masih panjang).
Salah persepsi. Indonesia salah persepsi akan paham 'kemerdekaan'. Indonesia menggunakan ruang kebebasannya yang seluas-luasnya itu, malah untuk memajukan korupsi demi kepentingan pribadi dan politik devide et impera demi kepentingan golongan.
Padahal Taiwan dan Indonesia sebetulnya memiliki banyak kesamaan. Salah satunya adalah watak kedua belah pihak yang nerimo. Tetapi mengapa tingkat kemajuan Indonesia dengan Taiwan sangat jomplang?
Orang Indonesia terlalu nerimo nasib—mental 'aku-orang-susah-dari-keluarga-susah' masih kuat. Kalau ingin berbicara tentang kesusahan, maaf, Taiwan jauh lebih susah dari Indonesia. Dari aspek cuaca, Taiwan harus nerimo sifat magnetiknya terhadap gempa dan angin taifun rutin. Dari aspek sumber daya alam, Taiwan juga harus nerimo bahwa ia tidak mampu menghasilkan energi dari kekayaan alam apa pun. Dari aspek demografi, Taiwan nerimo bahwa pertumbuhan penduduknya sudah di bawah minus dengan surplus jumlah penduduk usia non-produktif. Dari aspek politik, Taiwan nerimo kebijakan One China Policy. Apakah Indonesia, maaf, se-'susah' itu?
Kelemahan bangsa Indonesia yang sudah merdeka selama 66 tahun itu ialah sikap nerimo-nya yang berlarut-larut. Oleh karena itu, rakyat dan (terutama) pemerintah Republik Indonesia perlu mempelajari sikap pemerintah dan rakyat Taiwan yang seperti anak 6 tahun—penuh pengharapan, optimis menghadapi masa depan. Dengan segala keterbatasannya, Taiwan tetap berjuang dengan caranya sendiri: Taiwan menggunakan ruang kebebasan mereka yang seadanya, untuk memberikan rasa 'kemerdekaan' yang semerdeka mungkin kepada rakyatnya dan siapa pun yang tinggal di wilayahnya itu dengan penegakan hukum, serta pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H