Mohon tunggu...
Sabina Satriyani
Sabina Satriyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang idealis yang realistis dan penyendiri yang ekstrovert.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mahasiswa Pertanian Unpad Selami Cara Temukan 'Passion'

12 Juni 2013   17:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:08 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendiri wirausaha sosial Wayang Village berbagi kiat-kiatnya dalam Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM) Fak. Pertanian UNPAD.

Bandung—"Proses penemuan 'passion' kita yang sebenarnya harus melalui sebuah siklus dengan 4 tahapan," ujar Ariel Pradipta (25) dalam LKMM yang diadakan oleh Badan Eksekitif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran pada hari Sabtu, 8 Juni lalu di kompleks Universitas Islam Bandung, Ciburial. Menurut pembicara yang juga pendiri desa budaya wayang kulit di Kepuhsari itu, setiap orang pada umumnya harus melalui pencarian ilham (inspiration), kekecewaan (disappointment), ‘pembengkakan’ atau jatuh-bangun (inflammation), dan pencapaian prestasi (achievement) untuk menemukan gairah hidup, kegemaran, atau minatnya yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai ‘passion’. Ketika pada awal presentasi mahasiswa ditanyakan apakah mereka memilih ilmu pertanian karena 100% minatnya memang di bidang tersebut, hanya 2 orang peserta yang menunjukkan tangannya, dan mayoritas mahasiswa masih 70-80%. Ariel lebih lanjut menjelaskan bahwa mungkin mayoritas mahasiswa itu masih sedang dalam proses pencarian passion hidupnya dengan ilmu pertanian sebagai alatnya. Presentasi yang berjalan selama kurang lebih 1.5 jam tersebut menimbulkan tanggapan yang positif berupa pertanyaan-pertanyaan kritis dan evaluasi konstruktif dari para mahasiswa peserta yang juga merupakan calon pengurus BEM Fak. Pertanian UNPAD. “Presentasi seperti ini penting untuk dipublikasikan,” ungkap Antonio Yassie (21), salah satu peserta pelatihan dan mahasiswa jurusan agroteknologi, “agar masyarakat dapat memahami arti passion sebenarnya.” Wayang Village: Hasil dari Passion yang Menginginkan Kemajuan bagi Orang yang Kesusahan Menanggapi salah satu pertanyaan peserta tentang bagaimana menghadapi tantangan yang menghalangi seseorang menjalankan passion-nya, menurut Ariel, selain dengan mengkomunikasikan keuntungan-keuntungan dari passion yang sedang dikejar kepada orang sekitar yang menghalanginya, kebhinekaan itu kekuatan; dan solusinya adalah dengan mencari teman atau kenalan yang memilki passion serupa untuk menghadapi kesulitan-kesulitan duniawi tersebut. Maka berdasar pada prinsip tersebutlah, Ariel bersama tiga teman lainnya pun mendirikanWayang Village, sebuah desa budaya wayang kulit di Desa Kepuhsari, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah yang berkonsepkan wirausaha sosial. Passion itu tidak datang dengan sendirinya dalam waktu singkat. Passion membantu kita mencapai apa yang kita inginkan tetapi sekaligus membutuhkan kesabaran dan ujicoba yang berkali-kali,” kata Ariel, “saya dan teman-teman bukan dalam satu atau dua hari saja mensosialisasikan ide wirausaha kami dari pintu ke pintu di desa kami. Bahkan membutuhkan 3 bulan bagi kami, hanya untuk meyakinkan mereka bahwa pertunjukan wayang kulit yang berlangsung 2 jam itu lebih ‘menjual’ dibandingkan dengan pertunjukan 8 jam.” Sumber: WV Selain produksi wayang kulit, mata pencaharian utama penduduk Desa Kepuhsari bertumpuh pada pertanian. Namun, cuaca kering cenderung menyebabkan gagal panen dan pemasukan merendah. Penjualan wayang kulit karya desa tersebut pun kurang memadai karena susah menembus pasar. Maka bersama ketiga teman mudanya yang berpikiran serupa namun dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang beragam, Ariel berhasil meyakinkan 135 kepala keluarga untuk mengikuti pembinaan wirausaha sosial Ariel dkk demi memajukan pemasukan mereka, selain dari lahan tani mereka. Yakni, dengan menjadikan Desa Kepuhsari sebagai desa wisata yang terbuka bagi turis lokal maupun asing yang ingin mendapatkan pengalaman menatah wayang kulit sendiri, langsung diajari pengrajin desa tersebut. Usaha ini tidak hanya meningkatkan potensi ekonomi Desa Kepuhsari, namun juga melestarikan budaya wayang kulit Indonesia sendiri. “Desa budaya Kepuhsari menawarkan rangkaian kegiatan yang mengisi minat terhadap keragaman budaya,” ucap Noura Vago (24) asal Hongaria, sepulangnya dari program wisata Wayang Village milik Ariel dkk beberapa hari lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun