Mohon tunggu...
Sabina Satriyani
Sabina Satriyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang idealis yang realistis dan penyendiri yang ekstrovert.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aktivis Kasih yang Tulus: Ibu

21 Desember 2011   01:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mohon izin untuk menumpahkan curahan hati saya tentang seorang ibu yang tiada duanya. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi kaum ibu (terutama para calon ibu) Indonesia.

Ibu Mul terlahir dari keluarga yang sederhana—anak ketiga dari tujuh bersaudara, ayah seorang pensiunan tentara, dan ibu seorang ibu rumah tangga. Berbeda dengan keluarga-keluarga zaman sekarang, dorongan untuk menempuh pendidikan tinggi tidak begitu menjadi prioritas dalam keluarga Bu Mul pada waktu itu. Setamat SMA, beliau masuk akademi kebidanan St. Carolus namun tidak menyelesaikannya. Menurut teman-teman seakademi, Bu Mul muda tidak suka mematuhi aturan dan alasan beliau untuk tidak melanjutkan studinya di St. Carolus hanya karena tertangkap menyelinap dari asrama di akhir pekan. “Saya tidak suka dilarang untuk pulang ke rumah saya sendiri. Peraturan mereka terlalu kaku,” ucap Ibu Mul. Ternyata, rumah Bu Mul saat itu di Siliwangi, yang memang jaraknya begitu dekat dengan St. Carolus, sehingga ada ungkapan ‘pake kesandung pun langsung sampai’.

Pake Kesandung Pun, Terus Kejar Impian

Terlepas dari latar belakangnya yang sederhana, kegigihan dan keteguhan hati Ibu Mul luar biasa. Kalau di masa muda beliau dikenang sebagai seseorang yang suka menyelinap keluar, Bu Mul di masa tuanya adalah sosok yang berani menghadapi masalah and senantiasa optimis akan jalan yang terbaik untuk penuntasannya. Untuk mempersingkat panjangnya cerita, Bu Mul memperjuangkan nilai-nilai seperti kesetiaan dan sikap bersyukur yang beliau anggap penting dalam hidup. Dan setelah melihat kembali perjalanan hidup Bu Mul, saya rasa memang kedua nilai utama itulah yang meghasilkan masa tua Bu Mul yang bahagia.

Kepergian sang suami merupakan sebuah pukulan berat bagi Bu Mul yang ketika itu masih berusia 46 tahun. Menurut Bu Mul, perceraian bukanlah jalan keluar. Sebaliknya, beliau menunjukkan kesetiaannya pada sang suami dan janji pernikahan secara konkret dengan mengorbankan kepentingan pribadinya dan merawat buah tali kasih mereka full-time—ketiga anaknya. Beliau selalu mengatakan impiannya adalah, “anak-anakku tidak boleh mengalami apa yang telah aku alami.”

Demi kelangsungan hidup ketiga anaknya, Bu Mul bekerja keras dari pagi hingga sore hari di kantor dan tetap mengurus rumah tangga, pun memasak, di malam hari. Ia tidak pernah menunjukkan indikasi kelelahan pada anak-anaknya. Meskipun berat, menjalani segalanya itu seberapa berat perjalanan merupakan cermin rasa syukur Bu Mul kepada orang yang telah memberikan pekerjaan kepadanya. Di akhir pekan, Bu Mul masih mau berbagi dengan menjadi supir sukarelawan bagi para tetangga lansia yang membutuhkan tumpangan untuk pergi berobat atau sekedar jalan-jalan. Tenaga beliau luar biasa.

Bu Mul selalu mengutamakan pendidikan untuk anak-anaknya. Meskipun keadaan ekonomi selalu menjadi kendala, beliau memegang teguh pepatah “banyak jalan menuju Roma”. Ketika menerima dukungan dari uluran tangan teman-teman masa remaja dan saudara-saudara jauh Bu Mul yang tersentuh oleh perjuangan hidup beliau, Bu Mul memastikan anak-anaknya sudah bersikap penuh syukur dan hormat kepada orang-orang yang telah memberikan dukungan, dengan menempuh setiap jenjang pendidikan secara sungguh-sungguh. Cara Bu Mul ‘memastikan’ benar-benar disiplin dan keunggulan caranya sepertinya terbukti dari ketiga anaknya yang berhasil menyelesaikan kuliah di luar negeri dengan bantuan beasiswa dari masing-masing negara.

Berita-berita seputar perceraian dan pembuangan balita yang kian marak sungguh menyedihkan. Menurut saya, Ibu Mul sebenarnya secara tidak sengaja sudah menjadi seorang aktivis yang melawan kedua hal mengerikan tersebut. Nasib bangsa kita bergantung pada generasi muda, maka bergantung pulalah pada kaum ibu.

Selamat hari Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun