Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Review Film Thailand "Happy Old Year" (2020), Sebuah Upaya Melepaskan Barang Penuh Kenangan

23 Maret 2021   16:31 Diperbarui: 23 Maret 2021   17:47 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalian pernah, gak, sih menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai bahkan sudah rusak tapi rasanya sayang sekali untuk dibuang karena merasa barang itu memiliki banyak kenangan atau mungkin alasan kalian menyimpannya hanya sekadar ingin menghargai pemberian dari orang tua, teman, pacar, saudara, dan orang terdekat lainnya, hingga akhirnya barang-barang itu dibiarkan menumpuk di rumah begitu saja.

Jika pernah mengalaminya, kalian pasti akan merasa terwakilkan dengan cerita di dalam film yang satu ini. Bahkan, film yang satu ini dijamin bisa membuat kalian lebih termotivasi untuk membersihkan rumah dan tega untuk melepaskan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai.

Happy Old Year adalah sebuah film yang bercerita tentang seorang perempuan bernama Jean (diperankan oleh Chutimon Chuengcharoensukying) yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Swedia, kemudian ia bercita-cita ingin mengubah rumah lamanya menjadi sebuah rumah sekaligus kantor dengan desain minimalis impiannya. Namun rupanya, untuk mencapai keinginannya tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan. 

Jean harus berselisih dan beradu pendapat terlebih dahulu dengan orang sekitarnya, terutama ibunya sendiri. Ya, bisa dibilang film ini mengangkat ide cerita yang konfliknya tak begitu rumit, namun hampir semua orang dapat merasakan hal ini bahkan hingga beberapa tahun ke depan pun saya rasa semua orang akan tetap merasa relevan dengan cerita ini.

Nah, jika sebelumnya kalian pernah menonton film Bad Genius pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Jean di dalam film ini, ya, dengan karakter yang tak jauh berbeda, Chutimon Chuengcharoensukying berhasil memainkan peran di dalam film ini. Berkat kemampuan aktingnya ia berhasil menjadikan film dengan ide cerita yang sederhana menjadi terasa sangat menyentuh dan emosional bagi penontonnya. 

Saya akui Chutimon Chuengcharoensukying mampu memerankan drama penuh emosional ini dengan pas tanpa berlebihan, tapi penonton bisa tetap menikmati. Bayangkan saja, dari sebuah cerita yang mengangkat proses membuang barang menjadi alur cerita menarik yang layak dikonsumsi dan syarat akan makna tersirat.

Saya sangat suka dengan visual gambar di dalam film ini dan saya yakin generasi "pemuja estetik" pun akan setuju dengan pendapat saya. Di awal film kita sudah diperlihatkan visual minimalis yang begitu ciamik dan sangat memanjakan mata penontonnya. 

Secara konsisten, hampir setiap adegan di dalam film ini didominasi dengan warna putih begitu pula penggambaran sosok Jean yang tidak pernah menggunakan baju selain warna putih. Sepertinya selain menunjukan kesan minimalis, hal ini pun ada kaitannya dengan penggambaran karakter Jean yang bisa dibilang cukup dingin dan hampir tidak memiliki emosi.

Meski memiliki pengambilan gambar yang begitu menarik dan layak disaluti, durasi film ini terasa begitu lama dan melelahkan. Sebenarnya sama seperti film panjang pada umumnya, film ini memiliki durasi yang normal yaitu sekitar hampir dua jam. 

Namun ketika menonton, kita akan merasa begitu lama, karena film ini jarang menyajikan dialog dan kita harus melihat adegan yang sama dengan durasi bermenit-menit. Misalnya adegan ketika Jean sedang berjalan, Jean sedang menangis, dan lain sebagainya. Sepertinya film ini sengaja mengajak penontonnya untuk memposisikan diri atau merasakan bagaimana perasaan dari sosok Jean.

Menariknya lagi, film ini memiliki alur yang unik, di awal adegan ditunjukkan bagaimana Jean diminta menjelaskan proses dari berhasilnya membangun rumah yang sekarang sangat dikagumi orang-orang. Ya, bisa dibilang film ini menggunakan alur mundur, namun uniknya lagi cara bercerita di dalam film ini menggunakan penjelasan langkah-langkah bagaimana ketika ingin melepas suatu barang. Di mana salah satu proses tersulitnya adalah melupakan kenangan dari barang tersebut.

Jean bisa dibilang adalah orang yang cukup tega membuang barang-barang miliknya, meskipun itu adalah pemberian orang lain. Hal ini pun didukung oleh saudara kandung laki-lakinya. Sampai pernah suatu ketika, Pink (sahabat Jean) mengetahui bahwa DVD pemberiannya ketika Jean ulang tahun dibuang begitu saja. Pink saat itu merasa sangat sakit hati. Namun Jean menanggapi dengan cukup santai dan berharap sahabatnya mengerti akan tujuan dan cita-citanya selama ini.

Hingga suatu hari Jean pun merasakan hal yang sama, adiknya membuang barang pemberiannya. Hal itu membuat dirinya sadar bahwa membuang barang pemberian orang lain terlebih barang pribadi bukanlah perkara mudah dan pastinya sangat berdampak bagi perasaan orang yang memberinya.

Ia pun berinisiatif untuk mengembalikan semua barang yang ada di rumahnya kepada pemiliknya. Salah satunya adalah barang pemberian mantan kekasihnya yang bernama Aim (diperankan oleh Sunny Suwanmethanon). Untuk barang yang satu ini Jean merasa sangat emosional dan membuatnya kembali bernostalgia dengan mantan kekasihnya. Tapi apapun alasannya Jean tetap ambisius untuk menyelesaikan rencananya.

Ia mencoba mengembalikan barang itu kepada Aim melalui paket, namun sayangnya ditolak oleh kekasih baru Aim yang saat itu merasa cemburu dan khawatir Aim akan kembali bernostalgia dengan Jean. Namun rupanya, hal ini justru membuat Jean mendatangi Aim secara langsung hingga akhirnya kembali menjalin kedekatan.

Di sisi lain, hal yang sama pun dirasakan oleh ibunya Jean. Ibu Jean masih saja belum melupakan kenangan bersama mantan suaminya meskipun mantan suaminya sudah meninggalkannya dengan rasa tidak bertanggungjawab. Sebuah piano tua itu masih saja dipertahankan meski sudah membuat sesak ruangan, bahkan membuatnya harus tidur di kursi. 

Ya, bagi ibunya piano itu adalah satu-satunya barang paling berharga dan menyimpan banyak kenangan manis di saat keluarganya masih utuh. Sementara Jean sangat ingin membuang piano itu karena dirasa barang itu terlalu besar dan akan merusak konsep minimalisnya, terlebih ia merasa sakit hati dengan sikap ayahnya.

Dengan segala perdebatan yang begitu sengit dan emosional antara Jean dan ibunya, Jean terpaksa tetap menjual piano tersebut karena ia membutuhkan uang yang tak sedikit dan kebetulan ada seorang kolektor barang antik yang berani menawar dengan harga yang cukup tinggi.

Ya, pada intinya dari segala proses yang dilakukan, Jean banyak menemukan pelajaran dari sekadar melepaskan sebuah barang dan melupakan masa lalunya. Ia yang sebelumnya tega membuang sebuah barang menjadi sadar bahwa mungkin barang yang menurutnya tak penting justru menjadi sebuah barang yang sangat berharga dan begitu dicari oleh orang lain, itu lah mengapa ia seberusaha mungkin mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.

Rating 8/10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun