Mohon tunggu...
Salsabila Angela
Salsabila Angela Mohon Tunggu... Freelancer - Research & Development

A motivated and logical person dedicated to developing the strategic plans, researching, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konglomerasi Media Amerika: Marvel Cinematic Universe hingga Film 90-an Matilda dan Jack Frost

7 November 2020   04:48 Diperbarui: 8 November 2020   08:52 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak diragukan lagi bahwa Amerika Serikat menjadi raksasa pemilik produksi media yang paling banyak menguasai dunia terutama pada film layar lebar dan acara televisinya. Tayangan program series pada layanan Netflix maupun film Amerika Serikat hingga saat ini masih mendominasi layar teater dan televisi di seluruh penjuru dunia. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan media di negara core tersebut juga kompetitif ranah kelas dunia untuk bersaing di pasar media global. Sony dari Jepang, BBC Inggris Raya, dan Bertelsmann dari Jerman adalah contoh perusahaan multimedia asing yang secara gamblang bersaing dengan perusahaan media AS. Namun meskipun begitu, perusahaan AS masih mengontrol sebagian besar penjualan asing di pasar komunikasi global. Time Warner, Disney, Viacom, News Corp, dan Comcast (pemilik NBCUniversal) mewakili pemilik media utama dari AS yang mendominasi media global, komunikasi global, dan pasar media global itu sendiri. Siapa yang tidak pernah mendengar Disney? Disney Company adalah perusahaan terbesar dunia milik Amerika Serikat yang mengontrol ABC, ESPN, Miramax, Touchstone Pictures, dan masih banyak lagi. Kita juga pasti tidak asing dengan istilah Disneyland. Ya, Disneyland adalah taman hiburan milik Perusahaan Walt Disney yang melebarkan sayap dan ekspansinya ke Hongkong, Tokyo, China, dan Paris. Taman ini menjadi tempat hiburan paling sukses di dunia dengan jumlah pengunjung terbanyak dan paling diminati masyarakat dunia terutama oleh anak-anak dan remaja. 

Lalu kita juga pasti pernah mendengar News Corp Company, perusahaan terbesar kedua yang memiliki properti Fox, MySpace, dan Wall Street Journal, yang mana banyak produksi film-nya sering kita konsumsi. Kemudian juga ada Time Warner yang mengontrol CNN, HBO, Warner Music Group, AOL, dan beberapa properti media lainnya. Viacom Company memiliki MTV, CBS, BET, dan Showtime, sedangkan Comcast Company mengontrol NBC (National Broadcasting Company) dan merupakan operator televisi kabel terbesar, dengan lebih dari 22 juta pelanggan. Semua perusahaan yang telah saya sebutkan tadi berkantor pusat di Amerika Serikat, yang mana hal ini menggambarkan adanya konglomerasi media Amerika Serikat sebagai negara core yang dominan dan menguasai dunia.

Sejak usia anak-anak, kita disuguhi dengan tayangan-tayangan kartun asal Amerika di televisi yang di-dubbing menggunakan Bahasa Indonesia. Seperti Tom and Jerry, SpongeBob SquarePants, dan Scooby Doo. Lalu muncul film karya Marvel Cinematic Universe seperti Avengers, Spider-Man, Iron Man, dsb yang menjadi film favorit anak muda. Tak ayal jika film produksi Amerika Serikat lebih memunculkan banyak efek dan kesan yang dapat kita rasakan sebagai penikmat film. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri belum terlalu banyak film layar lebar bergenre Sci-fi, animasi, maupun action yang hadir di bioskop. Tak banyak juga tayangan kartun di televisi yang dapat membekas di benak kita sebagai program tayangan family friendly yang mampu membawa memori kenangan masa kecil layaknya Tom and Jerry ataupun SpongeBob SquarePants.

Keberhasilan film produksi Amerika yang mengundang banyak riuh penonton pada berbagai kalangan masyarakat Indonesia menunjukkan adanya sebuah keberhasilaan konglomerasi media Amerika di Indonesia sendiri. Kita pasti merasakan dampak pada keseharian kita setelah menonton tayangan film Amerika yang sangat kita sukai dan seringkali menghadirkan imajinasi. Saya sendiri sering merasa harap-harap cemas ketika menunggu sekuel film produksi Amerika, seperti misalnya pada salah satu film yang saya gemari yakni Avengers. Avengers: End Game yang tayang pada April 2019 lalu sangat berdampak bagi saya pribadi waktu itu karena setelah menonton film-nya, saya mengalami susah tidur dan muncul banyak pertanyaan di benak saya terkait film tersebut. 

End Game sendiri menurut saya telah berhasil mengikat seluruh kisah di Marvel Cinematic Universe dengan konklusi yang emosional, menyayat hati, sekaligus mengagumkan. Bukan hanya Avengers, film produksi 90-an seperti Matilda, Jack Frost, dan Clueless juga menjadi film favorit saya asal Amerika Serikat yang membawa efek bagi kehidupan saya pribadi. 

image1-2-5fa5c22ad541df6a45703872.jpeg
image1-2-5fa5c22ad541df6a45703872.jpeg
Film di tahun 90-an produksi Amerika memang seringkali membawa kesan yang lebih membekas dan hangat karena substansi dan jalan ceritanya sendiri memiliki alur yang matang, penuh pelajaran hidup, dan nilai sosial yang dapat kita tempatkan dalam keseharian. 

Munculnya konglomerasi media dari Amerika Serikat melalui tayangan film layar lebar maupun film yang dapat saya konsumsi di Netflix membuat saya jarang melirik film produksi dalam negeri sendiri. Bukan karena tidak tertarik untuk mengeksplorasi, namun terkadang saya tidak memiliki banyak update list film Indonesia yang sesuai dengan genre saya seperti genre action dan sci-fi.

Adanya dampak yang ditimbulkan dari konglomerasi media Amerika Serikat juga cukup krusial yakni pada hegemoni budaya yang terjadi di Indonesia. Hegemoni budaya dalam konteks ini merujuk pada suatu pandangan bahwa telah terjadi adanya dominasi oleh salah satu kelas di negara core atas negara periferal maupun semi periferal. Terbukti dari hadirya pengakuan saya terkait dampak konsumerisme tayangan film produksi Amerika Serikat terhadap kehidupan saya pribadi. Tidak hanya konsumerimse film, saya juga sering mendapati diri saya sendiri terbawa untuk mengikuti gaya hidup maupun cara berpakaian aktor dari visual yang ditayangkan pada film produksi USA yang saya tonton , dimana ini menujukkan adanya westernisasi, yakni pola kehidupan meniru gaya budaya Barat seperti gaya berpakaian, tingkah laku, maupun kebudayaan. Di kehidupan sehari-hari saya juga seringkali secara tidak sengaja mengucapkan beberapa kosakata ataupun ungkapan dalam Bahasa Inggris untuk menunjukkan ekspresi saya terhadap suatu kejadian. Hal ini mengidentifikasi bahwa konglomerasi media Amerika membawa dampak cukup signifikan bagi konsumen media. Negara core tersebut juga terus mencoba untuk mendominasi dan melakukan upaya mempertahankan kekuasaannya dalam memimpin perusahaan media di dunia melalui produksi tayangan program filmnya yang digarap bukan main. Metode yang dipakai oleh Amerika Serikat ini sangat cemerlang dan kompetitif sehingga negara ini dapat terus menguasai kelas-kelas media yang subordinat untuk menerima serta mengadopsi the rulling class values sebagai kekuatan konglomerasi media.

DAFTAR PUSTAKA

McPhail, T. (2014). Global Communication: Theoris, Stakeholders, and Trends. UK: Willey Blackwell

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun