Satu bungkus mi instan lagi yang tersisa di kamar kos Abeng. Kondisi orang daerah yang mencari ilmu di kota memang seperti itulah adanya. Abeng tak sekali-kali berkeluh kesah atas kondisi ekonominya. Dia memang bukan penerima beasiswa yang menerima uang berkala setiap bulan. Dia hanya orang kampung yang karena faktor keberuntungan bisa kuliah di perguruan tinggi.
Abeng memang dikenal cerdas di desanya. Tapi, sepintar-pintarnya orang desalah, dengan materi pelajaran yang sedikit dan tanpa fasilitas, Abeng memang tak seberapa ketika tinggal di kota. Persaingan akademik waktu ia SMA dulu memang belum pantas dibilang persaingan. Jumlah siswa di SMAnya saja Cuma 15 orang. Itu sudah dibagi ke dalam tiga buah kelas yang jumlah gurunya hanya dua orang. Pantaslah Abeng menjadi yang paling unggul dari empat orang temannya yang lain. Pasalnya, yang memiliki niat bersekolah hanyalah Abeng. Sisa teman sekelasnya kini sudah bekerja di perusahaan-perusahaan sawit sebagai buruh. Ya, begitulah keadaannya.
Bisa dibilang, Abeng hanya bermodal nekat pergi ke kota. Niatnya untuk menjadi sarjana tak pernah diimbangi dengan ekonomi yang dibilang cukup. Abeng hanya dibekali uang registrasi 500 ribu dan 100 ribu untuk biaya hidup di kota.
Sudah sebulan Abeng berjuang dengan keterbatasnnya. Ajaibnya, sampai saat ini Dia masih bisa makan walaupun harus membulatkan tekad untuk puasa setiap Senin dan Kamis. Setiap hari, Abeng harus pulang selepas Magrib karena bekerja di sebuah tempat cuci motor. Lumayanlah, ia mendapatkan upah seribu rupiah untuk setiap motor yang dicucinya.
Uang upah kerja di tempat pencucian motor selalu saja habis untuk biaya rental warnet dan print tugas. Maklum saja, Abeng masih menjadi mahasiswa baru. Tugas dari dosen dengan cepat menumpuk. Belum lagi tugas dari senior yang sering tidak dipahami Abeng apa tujuannya. Begitulah kehidupan Abeng selama di kota. Perjuangan yang tidak mudah, tapi harus tetap disyukuri.
Abeng tidak sendiri. Ia berjuang bersama Andre, temannya yang juga orang daerah. Andre mungkin lebih beruntung karena ia merupakan mahasiswa penerima beasiswa. Tapi, abeng tidak pernah cemburu soal itu. Abeng tetap menganggap Andre sebagai teman seperjuangannya yang diharapkannya dapat sukses bersama nanti.
Hari ini, Abeng dan Andre pergi ke kampus bersama. Dengan langkah anak kampung, mereka penuh semangat menuju tempat belajar yang diidamkan ribuan siswa yang sedang mengikuti ujian. Tak ada sarapan memang hari ini. Ya, sama seperti hari-hari yang lalu. Namun, otak Abeng tetap mampu bekerja keras dengan nutrisi apa adanya untuk mencerna pelajaran.
Perjuangan Abeng untuk kuliah hanya demi satu tujuan, yaitu menjadi sarjana. Cita-cita yang mungkin dianggap biasa bagi kebanyakan orang. Namun, bagi Abeng, menjadi sarjana merupakan hal yang luar biasa karena mungkin dia akan menjadi sarjana pertama di kampungnya. Dan, hal itu akan menjadi pintu pembuka bagi masyarakat kampungnya untuk memproritaskan pendidikan. Itu saja, sangat sederhana.
Enam bulan pertama ini dilewati Abeng dengan susah payah, tetapi semuanya dapat berjalan. Abeng memang tidak berniat untuk pulang kampung. Bukan karena tidak rindu pada semuanya. Keadaan yang membuat Abeng harus bertahan di kota. Kembali ke kampung hanya akan menelan banyak biaya dan itu akan mengancam perkuliahannya.
Abeng harus membayar uang registrasi untuk semester kedua. Salama ini, Abeng sudah memikirkan hal itu. Hasil kerjanya setiap hari bisa membatunya membayar kos, makan 1x sehari, dan menabung tiap hari. Uang sejumlah 500 ribu ia kantongi saat ini.
Entah ada kebijakan apa dari kampus. Yang pasti, uang registrasi awal semester naik dua kali lipat,. Perhitungan Abeng meleset cukup jauh. Ia terancam tidak dapat melanjutkan kuliah di semester 2. Abeng tidak menyerah begitu saja. Ia bernegoisasi dengan pihak kampus. Hasilnya, ia punya waktu tiga bulan untuk melunasi setengah lagi biaya kuliahnya.
Perjuangan Abeng semakin keras. Uang hasil kerjanya setiap hari ia sisihkan maksimal untuk melunasi utang kepada kampus. Ia semakin mengencangkan ikat pinggang. Ia harus tahan tidak makan satu hari, dan makan di hari esoknya. Abeng memang terkesan memaksakan kehendak. Namun, ia kelihatan mampu. Abeng harus berjuang seperti orang yang tidak kenal lelah. Ia berjuang tanpa memikirkan kondisi badannya.
Wajah Abeng pucat tanpa darah. Bibirnya gemetar. Badannya sebentar panas, sebentar dingin. Abeng sendiri berjuang di kamar kos. Sudah hampir 30 jam ia tidak makan. Hanya air putih yang menahan dahaganya. Tapi, laparnya tetap menyiksa. Kondisinya semakin parah. Tak ada yang tau tentangnya. Ia terkapar sendiri di kamar kos yang pengap dan berdebu.
Abeng masih ingin berjuang, tapi hanya mampu dalam hati. Fisiknya lemah, nafasnya tinggal menunggu terhenti. Abeng akhirnya tak sanggup. Magg dan rasa lapar mengakhiri hidup abeng. Perjuangannya terhenti sebelum ia mampu melunasi utang akademiknya. Mimpinya terhenti karena tidur yang terusik kematian.
Kematian Abeng baru diketahui dua hari setelah malaikat maut mencabut nyawanya. Andre teman dekatnya tertunduk penuh duka. Orang-orang tak mampu berkata. Abeng kini diantar menuju kampung halamannya. Ia hanya mampu membawa gelar calon sarjana di sana. Perjuangannya yang begitu berat, kini diantar dengan panji berwarna kuning tanda duka. Mimpi Abeng tidak hanya di awang-awang, tapi telah kandas karena kerasnya kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H