Mohon tunggu...
sabella alda yahya
sabella alda yahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sabella alda yahya (43223010177), S1 akuntansi, fakultas ekonomi dan bisnis, dosen pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemampuan Memimpin Diri dan Upaya Pencegahan Korupsi, dan Etik: Mathma Ghandi

20 Desember 2024   12:23 Diperbarui: 20 Desember 2024   12:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahatma Gandhi (nama lengkap: Mohandas Karamchand Gandhi, 1869--1948) adalah seorang tokoh besar dari India yang dikenal sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan India melawan penjajahan Inggris. Beliau dihormati di seluruh dunia karena perjuangannya yang konsisten menggunakan prinsip non-kekerasan (ahimsa) dan kebenaran (satyagraha) sebagai senjata untuk mencapai tujuan politik dan sosial. Gandhi percaya bahwa kekuatan moral dan spiritual dapat menjadi alat yang jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik dalam melawan ketidakadilan. Melalui pendekatannya yang unik, Gandhi mampu memobilisasi jutaan orang India dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan agama untuk bersatu dalam upaya melawan penindasan kolonial. Filosofinya tidak hanya membebaskan India dari penjajahan, tetapi juga meninggalkan warisan yang menginspirasi gerakan hak asasi manusia dan kebebasan di seluruh dunia, termasuk perjuangan melawan apartheid di Afrika Selatan dan gerakan hak sipil di Amerika Serikat

Non-Kekerasan (Ahimsa) adalah salah satu konsep moral dan filosofis yang paling penting dalam ajaran Mahatma Gandhi. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, yang secara harfiah berarti "tanpa menyakiti" (a = tidak, himsa = kekerasan). Ahimsa tidak hanya menjadi prinsip etika, tetapi juga menjadi strategi politik dan sosial yang digunakan Gandhi untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Bagi Gandhi, ahimsa adalah ekspresi cinta universal yang melampaui batas agama, budaya, dan kebangsaan, dengan tujuan menciptakan harmoni dan keadilan di dunia.

Lebih dari sekadar menahan diri dari tindakan kekerasan fisik, ahimsa mencakup niat untuk tidak menyakiti melalui pikiran dan ucapan. Prinsip ini menuntut pengendalian diri yang kuat dan sikap belas kasih terhadap semua makhluk hidup. Dalam praktiknya, Gandhi menggunakan ahimsa untuk menghadapi kekuatan kolonial Inggris dengan cara damai, seperti dalam gerakan Salt March dan gerakan Non-Kooperasi, yang melibatkan boikot ekonomi tanpa kekerasan.

Ahimsa juga dianggap sebagai kekuatan aktif yang membutuhkan keberanian dan tekad untuk melawan ketidakadilan tanpa balas dendam. Gandhi percaya bahwa kekerasan hanya akan memperburuk konflik, sedangkan non-kekerasan memiliki kekuatan moral yang mampu mengubah hati lawan. Dengan ahimsa, Gandhi mengajarkan bahwa keberhasilan sejati tidak hanya dicapai melalui kemenangan politik, tetapi juga melalui perdamaian yang berkelanjutan dan transformasi hubungan manusia.

Kebenaran (Satyagraha) adalah salah satu konsep utama dalam filosofi perjuangan Mahatma Gandhi. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, di mana "Satya" berarti kebenaran, dan "Agraha" berarti keteguhan atau komitmen yang kuat. Dalam pengertian yang lebih luas, Satyagraha dapat diartikan sebagai "keteguhan pada kebenaran" atau "perjuangan melalui kekuatan moral." Konsep ini bukan hanya sekadar metode perjuangan, tetapi juga menjadi inti dari cara hidup yang menekankan pentingnya kejujuran, cinta, dan rasa hormat terhadap kemanusiaan. Gandhi mengembangkan Satyagraha sebagai dasar strategi politik dan sosialnya untuk melawan ketidakadilan dengan cara yang damai dan bermoral.

Dalam pandangan Gandhi, Satyagraha adalah kekuatan yang lebih besar daripada kekerasan fisik, karena didasarkan pada keyakinan bahwa kebenaran dan moralitas akan selalu mengatasi ketidakadilan. Gandhi percaya bahwa kebenaran adalah hakikat kehidupan yang paling mendasar, sehingga perjuangan berdasarkan Satyagraha menuntut keberanian untuk menghadapi penderitaan tanpa rasa takut atau dendam. Dengan cara ini, Satyagraha tidak hanya menentang ketidakadilan, tetapi juga berusaha menyentuh hati nurani pihak lawan, menciptakan peluang untuk rekonsiliasi dan perdamaian sejati.

Satyagraha diterapkan Gandhi dalam berbagai perjuangan, baik di Afrika Selatan maupun India, untuk menentang diskriminasi, kolonialisme, dan penindasan. Gerakan ini melibatkan aksi tanpa kekerasan seperti boikot, mogok, dan protes damai, di mana para pengikutnya bersedia menanggung risiko fisik dan penderitaan demi menunjukkan keteguhan mereka pada kebenaran. Dengan Satyagraha, Gandhi membuktikan bahwa kekuatan moral dan spiritual dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi konflik dan menciptakan keadilan tanpa kekerasan. Filosofi ini telah menginspirasi gerakan sosial di seluruh dunia dan terus menjadi panduan bagi perjuangan damai hingga kini.

Kemampuan Memimpin Diri

Kemampuan memimpin diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya, tindakannya, dan prinsip-prinsip hidupnya agar sejalan dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Kemampuan ini mencerminkan disiplin diri, integritas, dan komitmen untuk bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran, bahkan di tengah tekanan atau tantangan besar. Mahatma Gandhi menunjukkan kemampuan memimpin diri dengan pendekatan yang konsisten, termasuk melalui pengendalian emosinya dalam menghadapi provokasi, ketabahan dalam memegang teguh prinsip non-kekerasan (ahimsa), serta keberaniannya untuk tetap berpegang pada kebenaran (satyagraha) meskipun harus menghadapi risiko besar, seperti penjara atau ancaman terhadap keselamatannya.

Gandhi mencontohkan bahwa memimpin diri tidak hanya berarti mengatur tindakan sehari-hari, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk mengarahkan kehidupan menuju tujuan yang lebih besar dengan pandangan moral yang jelas. Misalnya, ia mengatur pola hidup sederhana dan menolak kemewahan sebagai bentuk solidaritas dengan rakyat miskin India. Selain itu, ia menjaga emosinya agar tetap tenang dalam situasi yang penuh tekanan, seperti saat menghadapi kekerasan dari penjajah Inggris atau perpecahan internal di antara pendukungnya. Bagi Gandhi, memimpin diri adalah fondasi untuk memimpin orang lain, karena hanya dengan mengendalikan dirinya sendiri seseorang dapat menjadi teladan dan mempengaruhi orang lain untuk berbuat lebih baik.

Lebih jauh lagi, Gandhi menerapkan prinsip ini tidak hanya dalam kehidupan pribadinya, tetapi juga dalam perjuangan kolektif untuk kemerdekaan India. Ia mengajarkan kepada para pengikutnya pentingnya melatih kesabaran, menahan diri dari kebencian, dan berpegang pada nilai-nilai moral yang tinggi dalam perjuangan mereka. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat integritas gerakan, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa perubahan besar dapat dicapai tanpa melibatkan kekerasan atau tindakan yang melanggar moral. Gandhi dengan jelas membuktikan bahwa kemampuan memimpin diri adalah dasar dari kepemimpinan yang berkelanjutan dan bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun