Mohon tunggu...
sabella alda yahya
sabella alda yahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sabella alda yahya (43223010177), S1 akuntansi, fakultas ekonomi dan bisnis, dosen pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kebatinan Mangkunegara IV pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri

29 November 2024   03:13 Diperbarui: 29 November 2024   22:51 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(PPT PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN ETIK (Sumber: MODUL PROF. APOLLO))

(PPT PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN ETIK (Sumber: MODUL PROF. APOLLO))
(PPT PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN ETIK (Sumber: MODUL PROF. APOLLO))
Serat Wedhatama, karya monumental Mangkunegaran IV, merupakan salah satu pedoman sastra Jawa klasik yang penuh dengan ajaran etika dan kebijaksanaan hidup. Di dalamnya, Mangkunegaran IV menguraikan prinsip-prinsip luhur yang tidak hanya relevan bagi pembentukan karakter individu, tetapi juga menjadi fondasi kepemimpinan yang ideal.

Nilai-nilai kepemimpinan dalam Serat Wedhatama mencakup kesadaran spiritual (eling), hubungan harmonis dengan sesama (waspada), tata krama, dan tanggung jawab sosial. Pemimpin yang ideal tidak hanya memimpin dengan otoritas, tetapi juga dengan kedalaman moral, kesadaran sosial, dan kemampuan untuk menginspirasi. Dalam konteks modern, ajaran ini menawarkan kerangka kepemimpinan yang relevan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

  • Eling lan Waspada (Ingat kepada Tuhan dan Waspada terhadap Sesama dan Alam) Kesadaran vertikal (eling) mengacu pada hubungan spiritual dengan Tuhan yang menjadi landasan moral bagi seorang pemimpin. Sementara itu, kesadaran horizontal (waspada) adalah kewaspadaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pemimpin harus menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual dan sosial untuk menciptakan harmoni.
  • Atetambo Yen Wus Bucik (Jangan Berobat Setelah Terluka)Ajaran ini menekankan pentingnya tindakan preventif dalam kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki visi jangka panjang, mampu mengantisipasi risiko, dan bertindak sebelum masalah berkembang menjadi krisis. Hal ini menunjukkan kecakapan dalam perencanaan dan pengelolaan yang strategis.
  • Awya Mematuh Nalutuh (Menghindari Sifat Angkara dan Perbuatan Nista) Seorang pemimpin harus menjauhkan diri dari sifat-sifat destruktif seperti keserakahan, amarah, dan tindakan nista. Integritas moral menjadi tolok ukur utama dalam menciptakan kepercayaan dan kepatuhan dari rakyat.
  • Kareme Anguwus-uwus Owose Tan Ana (Jangan Marah Tanpa Alasan)
  • Pemimpin yang baik harus memiliki pengendalian diri, khususnya dalam menghadapi emosi. Amarah tanpa alasan hanya akan menciptakan konflik yang tidak produktif. Dengan bijaksana, pemimpin perlu bersikap adil dan objektif dalam menghadapi masalah.
  • Gonyak-ganyuk Ngelingsemi (Kurang Sopan dan Memalukan) Tata krama dan kesopanan adalah ciri utama seorang pemimpin. Tindakan yang memalukan atau melanggar etika akan merusak citra dan kredibilitas pemimpin di mata rakyat.
  • Nggugu Karepe Priyangga (Jangan Bertindak Sendiri atau Tidak Bisa Diatur) Kepemimpinan adalah kerja kolektif. Seorang pemimpin harus mampu menerima masukan, bekerja sama, dan tidak bersikap otoriter. Sikap individualis yang berlebihan dapat merusak sinergi dalam organisasi.
  • Traping Angganira (Dapat Menempatkan Diri) Fleksibilitas dalam bersikap dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi adalah kualitas penting seorang pemimpin. Hal ini mencerminkan keluwesan dalam berkomunikasi dengan berbagai kalangan masyarakat.
  • Angger Ugering Keprabon (Mematuhi Tatanan Negara) Pemimpin harus menjadi teladan dalam menghormati dan mematuhi hukum serta peraturan yang berlaku. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas dan keadilan dalam masyarakat.
  • Bangkit Ajur Ajer (Bergaul dengan Siapapun) Kerendahan hati dalam bergaul tanpa memandang status sosial adalah salah satu prinsip utama. Pemimpin yang mampu merangkul semua kalangan akan menciptakan rasa kepercayaan dan kedekatan dengan rakyatnya.
  • Mung Ngenaki Tyasing Lyan (Menyenangkan Orang Lain Meski Berbeda) Toleransi adalah kunci keberhasilan kepemimpinan dalam masyarakat yang beragam. Pemimpin harus mampu menciptakan rasa nyaman dan harmonis meski menghadapi perbedaan.
  • Den Iso Mbasuki Ujaring Janmi (Pura-Pura Bodoh Secara Bijaksana) Kebijaksanaan seringkali membutuhkan strategi, termasuk bersikap rendah hati atau menyembunyikan kemampuan untuk menghindari konflik. Pendekatan ini menunjukkan kecerdasan emosional dan pengendalian diri yang tinggi.
  • Ngandhar-Andhar Angendhukur (Berbicara Baik dan Logis) Kemampuan berkomunikasi yang baik---jelas, berbasis data, rendah hati, dan logis---merupakan ciri khas pemimpin yang berkualitas. Kata-kata yang tepat dapat memengaruhi, membangun kepercayaan, dan memotivasi rakyat.
  • Anggung Gumrunggung (Hindari Kesombongan) Kesombongan adalah salah satu kelemahan fatal dalam kepemimpinan. Pemimpin yang rendah hati akan lebih dihormati dan mampu membangun hubungan yang lebih kuat dengan rakyatnya.
  • Lumuh Asor Kudu Unggul (Sikap Sombong Terlihat dari Kata-Kata) Pemimpin sejati menjaga tutur kata dan menghindari sikap yang merendahkan orang lain. Kata-kata yang bijaksana dan membangun adalah cerminan dari jiwa kepemimpinan yang unggul.

Serat Tripama

(PPT PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN ETIK (Sumber: MODUL PROF. APOLLO))
(PPT PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN ETIK (Sumber: MODUL PROF. APOLLO))
Serat Tripama adalah salah satu karya sastra yang ditulis oleh Mangkunegara IV pada tahun 1860-an di Surakarta. Karya ini berbentuk tembang macapat dengan pupuh dhandanggula, yang terdiri dari tujuh bait. Serat Tripama pertama kali diterbitkan dalam kumpulan karya Mangkunegara IV jilid III pada tahun 1927, yang diterbitkan oleh Java Institut dan Yayasan Mangadeg.

Secara etimologis, "Serat" berarti tulisan atau naskah, sedangkan "Tripama" terdiri dari dua kata: "Tri" yang berarti tiga, dan "Pama" yang berarti perumpamaan. Oleh karena itu, Serat Tripama dapat diartikan sebagai naskah yang berisi tiga perumpamaan. Secara umum, karya ini menyampaikan nasehat tentang keteladanan dari tiga tokoh wayang yang terkenal, yaitu Patih Suwanda atau Bambang Sumantri dalam cerita pra-Ramayana, Kumbakarna dalam cerita Ramayana, dan Adipati Karna dalam cerita Mahabharata.

Serat Tripama memiliki nilai filosofis yang mendalam, mengajarkan tentang sifat-sifat yang patut dicontoh dari masing-masing tokoh tersebut. Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Karna digambarkan sebagai figur-figur yang memiliki karakter kuat, penuh pengorbanan, serta keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. Lewat karya ini, Mangkunegara IV ingin menyampaikan pesan moral yang dapat menjadi pedoman bagi pembaca dalam menjalani kehidupan, mengajarkan pentingnya keteladanan dalam berperilaku dan bertindak.

Patih Suwanda

Patih Suwanda, yang bernama kecil Bambang Sumantri, adalah tokoh dalam cerita wayang yang dikenal karena keteladanannya. Sumantri merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dengan adik bernama Bambang Sukrasana, yang memiliki wujud raksasa kecil. Sumantri sejak kecil menerima pendidikan yang lengkap dari ayahnya, Begawan Suwandagni, untuk menjadi prajurit yang terampil. Ia juga memiliki senjata cakra pemberian Batara Wisnu, yang menambah kemampuannya.

Sumantri bertekad mengabdi kepada Raja Maespati, Prabu Arjuna Sasrabahu, dan dikenal dengan nama Patih Suwanda. Namun, ia enggan membawa adiknya yang berwujud raksasa karena khawatir perjalanan akan terhambat. Meskipun demikian, Sukrasana, yang dikasihi Batara Dharma, memiliki kemampuan luar biasa, termasuk menjinakkan binatang buas.

Patih Suwanda dikenal karena tiga kualitas unggul: guna (kecerdasan), kaya (kemampuan), dan purun (keberanian). Dalam cerita, Patih Suwanda diberi tugas oleh Prabu Arjuna Sasrabahu untuk melamar Dewi Citrawati. Ia menyelesaikan tantangan ini dengan memenangkan sayembara yang diadakan oleh Raja Citrawijaya. Keberaniannya terlihat dalam pertempuran melawan Raja Ngalengka, Prabu Dasamuka, di mana ia gugur setelah bertempur hingga akhir.

Ketiga nilai tersebut guna, kaya, purun merupakan karakter yang patut dicontoh, seperti yang dijelaskan dalam Serat Tripama oleh Mangkunegara IV. Keteladanan Patih Suwanda diharapkan dapat menjadi contoh bagi generasi muda dalam melaksanakan tugas dengan baik, tanpa mengharapkan imbalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun