Freeport adalah ibarat anak singa yang dipelihara. Awal mulanya jinak-jinak menyenangkan. Tapi singa itu terus tumbuh menjadi singa besar nan ganas, yang siap menerkam siapapun dan apapun yang mengusiknya.
Maka kalau tidak siap bermain dengan stamina panjang, jika tak siap mengambil risiko habis-habisan, jangan pernah memulainya. Memperosalan Freeport, siapapun harus siap dengan perjamuan terakhir.
Sebab, seandainya saya pemilik mayoritas saham Freeport, tentu saya akan melakukan apapun yang bisa saya lakukan untuk “menghentikan” siapapun, yang berani mengusik sumber pundi dari segala sumber pundi di Bumi Papua itu.
Freeport bukan sekedar perusahaan multinasional, yang tercatat di list pasar bursa terkemuka di dunia. Bukan juga sekedar salah satu pemasok utama kebutuhan emas masyarakat dunia.
Analogi sederhana ini barangkali bisa menjelaskan: pabrik besar di sebuah kota Kabupaten, jika mau, bisa membungkam semua komponen strategis di kabupaten itu. Hasilnya, pabrik beroperasi, semua jajaran pemangku di kabupaten ikut senang. Begitulah yang dilakukan oleh Freeport di negara ini.
Artinya, mengusik Freeport sama dengan mengusik zona nyaman siapapun yang terpapar cipratan kilauan emas tanah Papua itu.
Jika sesekali mengunjungi situs resmi PT Freeport Indonesia (http://ptfi.co.id/id), di halaman muka, kita akan disuguhi informasi umum tentang kontribusi PTFI kepada masyarakat Papua; foto anak-anak Papua yang tertawa ceria; para pekerja yang memberikan kesan nyaman; sumbangan PTFI kepada lembaga ini atau yayasan itu, institusi sana, organisasi sini; mungkin sekelumit mekanisme produksinya dan seterusnya.
Tapi jangan berharap disuguhi informasi yang sesungguhnya tentang bagaimana Freeport beroperasi, berapa ton biji emas yang diproduksi per hari, siapa pengendali utama pertambangan, siapa yang mengatur pengapalan biji tambang; berapa keuntungan bersihnya per tahun.
Tentu saja PTFI membayar berbagai jenis pajak, dan itu dipublikasikan. Tapi mari jangan berpikir naif. Sekali lagi, analoginya sederhana: pabrik besar di sebuah kota kabupaten saja bisa dan mampu menyembunyikan produksi dan keuntungan realnya, apatah lagi PTFI.
Tidak ada akses darat ke wilayah operasi Freeport di Timika, Papua. Akses lautnya pun tidak terbuka untuk pelayaran umum. Name it as you want! Anda bisa menyebutnya negara dalam negara. Bila ingin melawannya, semua lini dan potensi bangsa ini harus dimaksimalkan.
Karena itu, jika kemudian muncul gagasan berani untuk menggugat hak negara dan bangsa di Freeport, seluruh komponen strategis bangsa ini harus mendukung.