Aksi teror di jembatan Westminster London dan di halaman Gedung Parlemen Inggris, pada 22 Maret 2017, pukul 14.40 GMT, membuktikan bahwa semakin sederhana modus sebuah aksi teror, makin sulit dideteksi dan nyaris mustahil dicegah. Sebaliknya, semakin besar suatu rencana aksi dan makin kompleks bahan/alat yang digunakan, semakin mudah untuk dicegah.
Sebab aparat keamanan negara manapun nyaris mustahil mencegah aksi teror yang hanya menggunakan dua instrumen: mobil dan pisau dapur. “It was also the kind that is most difficult to prevent”, tulis The Economist (edisi cetak, 25 Maret 2017).
Suatu rencana aksi teror berskala besar, akan melibatkan banyak jaringan pelaku, dan setiap jaringannya terbuka kemungkinan melakukan kesalahan, dan begitu salah satu jaringannya terdeteksi, akan memudahkan mendeteksi jaringan lainnya, dan selanjutnya menggagalkan rencana teror tersebut.
Sementara sebuah aksi teror yang dilakukan oleh seorang pelaku (lonely wolf), yang merencanakan sendiri aksi terornya, dengan menggunakan hanya sebuah mobil dan pisau dapur, tentu akan sangat sulit mendeteksinya, apalagi mencegahnya.
Jika dibandingkan dengan aksi teror di Jalan Thamrin Jakarta, pada 14 Januari 2016, jumlah korban teror Jembatan Westminster London jauh lebih besar: Empat orang tewas, dan sekitar 40 cedera, tujuh di antaranya dalam kondisi kritis, salah satunya seorang wanita yang jatuh atau meloncat ke Sungai Thames.
Pada hari berikutnya (Kamis, 24 Maret 2017), PM Inggris Theresa May mengecam serangan mobil tersebut dan menyebutnya sebagai serangan teror yang sakit dan bejat (sick and depraved terrorist attack). Pada yang hari yang sama, kantor berita online Amaq News Agency, yang diyakini berafiliasi ke IS, mengklaim bahwa Khalid Masood adalah salah satu prajuritnya.
Serangan di jembatan Westminster London itu menunjukkan efektivitas seruan yang pernah disampaikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi kepada seluruh pendukungnya di seluruh dunia: “lakukanlah teror dengan senjata apa saja, sebarkanlah kepanikan di tengah komunitas yang memusuhi Islamic State”.
Pelajaran penting: teknologi paling canggih sekalipun tidak mungkin menggantikan human intelligence. Artinya, tidak ada satupun teknologi yang bisa mencegah aksi teror seperti yang dilakukan orang seperti Khalid Masood.
Pelaku serangan London
Pada 24 Maret 2017, polisi anti teror Inggris pertama kali mempublikasikan foto pelaku serangan London, bernama Khalid Masood, 52 tahun, kelahiran Kent, dengan nama lahir Adrian Russell Ajao, dan terakhir berdomisili di West Midlands. Beristri dan punya seorang anak. Ketika berusia 18 tahun, pernah dihukum karena tindakan kriminal pada Nopember 1983.
Pada 2005, Khalid Masood pernah bekerja di Yanbu, Saudi Arabia, dan selanjutnya sebagai guru untuk pekerja di General Authority of Civil Aviation (GACA) di Jeddah (menurut The Sun, yang mengaku memiliki fotokopi riwayat hidup Khalid Masood).