Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perokok Jangan Dilarang dengan Logika

22 Agustus 2016   19:49 Diperbarui: 22 Agustus 2016   21:44 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengimbau perokok agar tidak lagi merokok, melalui kebijakan menaikkan harga rokok, berapapun harga banderolnya, percaya deh, gak bakal ngefek, nggak bakal nendang. Ini beberapa alasannya.

Kampanye yang bertujuan mencegah perokok untuk merokok umumnya berangkat dari paradigma yang keliru. Sebab merokok adalah kebiasaan yang sudah memasuki tahapan candu, dan setiap jenis candu lebih ke persoalan emosi. Dan emosi umumnya tidak bisa dicegah melalui pendekatan logika yang rasional.

Ok, kita asumsikan rokok berpotensi menyebabkan sakit jantung, dan gula pasir berpotensi menyebabkan diabetes. Apakah produsen gula dan apakah ada kampanye yang meminta pembungkus gula mencamtumkan gambar luka borok pada anggota tubuh penderita diabetes, yang hampir diamputasi? Seperti halnya tampilan gambar-gambar luka borok yang kini wajib dipasang di bungkus rokok. Ini logika, Bung.

Merokok itu bukan tindakan rasional, maka ketika seorang perokok dilarang merokok dengan memberikan alasan rasional, yah, tidak nyambung. Perokok itu memiliki bejibun argumentasi penangkis untuk mempertahankan kebiasaan merokoknya.

Seorang perokok, ketika merokok, juga tidak pernah menghitung kesehatannya. Maka jarang seorang perokok berhenti merokok, karena takut tertimpa penyakit tertentu. Mungkin dia akan berhenti merokok setelah benar-benar sakit.

Lagi pula, alasan bahwa merokok menyebabkan banyak jenis penyakit kelas kakap (jantung, kanker, TBC dan sebagainya), mungkin ada benarnya. Hanya alasan ini tidak berlaku konstan. Buktinya banyak perokok sampai usia uzur, dan tidak menderita berbagai penyakit kelas kakap tersebut.

Seorang perokok, ketika merokok, juga tidak pernah menghitung uangnya. Setahu saya, belum pernah ada perokok yang berhenti merokok, karena tidak punya duit. Mungkin hanya memeperlebar interval waktu merokoknya. Maka jangan meminta perokok berhenti merokok dengan alasan pemborosan. Kalau perokok kehabisan duit, dia akan meminta rokok dari sesama perokok, atau pinjam duit untuk membeli rokok.

Kalau asap rokok merusak kesehatan lingkungan dan membuat tidak sehat, ok. Tapi kira-kira polutif mana antara asap rokok dengan asap knalpot Metromini dan Kopaja di Jakarta? Terus Metromini dan Kopaja mau dilarang juga, atau dinaikkan harga sewanya, biar Metromini dan Kopaja berhenti beroperasi, karena tidak ada penumpangnya? Ini logika, Bung.

Jangan juga berargumen bahwa merokok adalah perilaku tidak berbudaya dan tidak berperadaban. Sebab hampir semua konseptor tentang kebudayaan dan peradaban modern adalah perokok.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok?

Saya sih maunya, kampanye untuk berhenti merokok, tidak perlu berargumen: penyakitlah, pemborosanlah, tidak berbudayalah, tidak berperadabanlah atau apapun alasan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun