Tol Merak - Banyuwangi, File pribadi
“Saya berangkat dari Jakarta pada Rabu, 4 Mei 2016, jam 23.00, dan baru nyampe pintu Tol Pejagan jam 09.00 (Kamis, 5 Mei 2016). Terus, baru sekitar 5 km meninggalkan Pintul Tol Pejagaan ke arah Purwokerto, kendaraan stagnan tak bergerak sudah 6 jam”, begitu penjelasan seorang pengendara mobil yang diwawancarai oleh stasiun radion swasta pada jam 15.00 (5 Mei 2016). Di ruas jalan antara Tol Pejagaan sampai Banyumas, memang rentan kendaraan saling serobot.
Dalam kondisi normal, jarak Jakarta-Pejagan via tol Cikampek–Cipali–Pejagan biasanya ditempuh sekitar 3 jam. Pengendara itu menempuhnya sekitar 10 jam. Opo ora gendeng?
Ketika artikel ini sedang ditulis, sekitar jam 15.00 (Kamis, 5 Mei 2016), saya mendengarkan seorang pengendara lain menjelaskan secara live melalui corong radio swasta: “Sudah tiga jam kendaraan stagnan tak bergerak di wilayah Simpang Nagrek, menuju Garut dan Tasik” Jawa Barat.
Untung ruas tol Pejagan-Pemalang difungsikan secara gratis, meski belum dioperasikan secara resmi. Kalau tidak, Jalur Pantura wilayah Brebes-Tegal pasti akan terimbas macet ekstrem juga.
Saya jadi ingat, sektiar akhir tahun1960-an sampai awal 1970-an di kampung dulu, setiap menjelang Magrib, ruang udara di atas kampung kami, pada ketinggian sekitar 50–100 meter, akan tampak rombongan paniki (kelelawar) yang terbang bergerombol dari arah pantai menuju wilayah pegunungan (fenomena itu kami jadikan isyarat waktu magrib). Rombongan paniki itu akan kembali dari wilayah pegunungan menuju area pantai di subuh hari (dan kami jadikan itu sebagai tanda masuknya waktu fajar menjelang matahari terbit).
Entah karena alasan apa, setiap hari selalu ada saja beberapa paniki yang tampaknya tertinggal rombongan, dan kesiangan di kampung, tidak mampu lagi melanjutkan terbang ke arah pantai (konon mata paniki tidak berfungsi maksimal untuk terbang di siang hari).
Nah rombongan kendaraan yang star dari Jakarta pada Rabu malam (4 Mei 2016) ibarat rombongan paniki di kampung saya dulu, dan baru tiba di wilayah Palimanan (Indramayu) sampai Pejagan pada Kamis pagi” (5 Mei 2016).
Gerombolan kendaraan roda empat dari Jakarta itu bergeser (ibarat gerombolan paniki) dan memindahkan kemacetan ke arah timur pulau Jawa, terutama untuk tujuan Jawa Tengah (Semarang, Solo), Yogyakarta dan sekitarnya. Begitu juga untuk tujuan wilayah selatan Jawa Barat (Garut, Tasik, Ciamis) via simpang Nagrek.
Ketika nasi sudah menjadi bubur, tindakan dan respon darurat relatif tidak akan banyak menolong. Kita hanya bisa menunggu kemacetan ektrem itu terurai dengan sendirinya (oleh hand of God), beberapa jam kemudian, yang tentu pasti akan disertai umpatan dan kemarahan kepada pihak yang bertanggungjawab soal pengaturan arus lalu lintas, dari tingkat pusat sampai ke level kabupaten dan kecamatan. Buat saya ini agak aneh, sebab pada 2 Mei 2016, Polda Metro Jaya sudah merelease warning bahwa pada “Libur Panjang 5 s.d 8 Mei 2016, 127.000 Kendaraan Diprediksi Keluar Jakarta”.
Kita hanya berharap, kemacetan ekstrem di jalur Pantura dan Jalur Tengah Pulau Jawa itu tidak terulang kembali pada arus balik nanti (7 s.d 8 Mei 2016). Sekaligus, kemacetan kali ini dapat dijadikan sebagai early warning untuk mengantisipasi puncak arus mudik lebaran, yang sisa sekitar dua bulan lagi dari sekarang (lebaran Idul Fitri, 6-7 Juli 2016).