Saya termasuk gaptek soal teknis dan mekanisme blokir-memblokir terbatas sebuah aplikasi media sosial. Dan catatan ini pun mohon dipahami sebagai catatan seorang yang gaptek.
Dan saya termasuk pengguna aplikasi Telegram. Sebab dibanding aplikasi lainnya, misalnya Whatsappatau Line, jelas Telegram memiliki feature yang jauh lebih unggul. Bahkan menurut sebuah laporan, end-to-end encryption, yang belakangan juga dipakai oleh Whatsapp, ternyata Telegram sudah lama menggunakannya. Artinya Whatsapp mencontek Telegram dalam hal konsep dan penerapan end-to-end encryption.
Sejauh yang saya tahu, di Telegram terdapat tiga feature yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh aplikasi Medsos lainnya.
Pertama, secret chatting, di mana penggunanya dapat mengatur sebuah percakapan rahasia dengan membatasi durasi penampakan teks di gadget teman chatting. Artinya sebuah message hanya bertahan di layar gadget beberapa detik setelah dibaca. Jika di-setting 5 detik, maka teks itu akan terhapus/hancur dengan sendirinya (self-destruction) di layar gadget pengirim dan penerima 5 detik, setelah message itu dibaca.
Karena itu, dengan self-destruction tersebut, Telegram konon menjadi aplikasi pavorit di kalangan jaringan pelaku korupsi untuk melakukan pengaburan transaksi agar tidak bisa di-tracking, atau seseorang yang sedang selingkuh, atau bahkan di kalangan para pedagang Narkoba. Dan tentu saja jaringan teroris.
Kedua, proses penghapusan message yang dikirim dengan dua alternatif: dihapus di gadget pengirim saja, atau dihapus di gadget pengirim dan penerima. Feature ini juga tak ada di Whatsapp, Line ataupun lainnya. Sebab postingan yang telah dikirim di Whatsapp, tak bisa lagi dihapus oleh pengirim di gadget penerima.
Ketiga, kalau saya menerima sebuah message, lalu melakukan screen-shot terhadap message itu, maka tindakan screen-shot itu akan diketahui oleh pengirim message. Lagi-lagi, feature ini tak dimiliki Whatsapp atau Line.
Karena itu, saya termasuk kaget ketika tiba-tiba melalui beberapa postingan group membaca bahwa Kemenkominfo RI berencana memblokir Telegram, dengan alasan (minimal yang muncul ke permukaan) bahwa Telegram menjadi salah satu aplikasi pavorit yang digunakan oleh kelompok teroris, baik untuk berkomunikasi antar sesama mereka, ataupun untuk melakukan provokasi. Jika semata alasan ini, kita semua mungkin tak punya alasan menolaknya.
Tapi saya masih berpikir positif: menilai berita tentang rencana Kemenkominfo memblokir Telegram lebih sebagai test the water, untuk mengetahui respon para pengelola Telegram, asal Rusia tersebut.
Dan alhamdulilah, Telegram akhirnya merespon. Tentu antara lain karena jumlah pengguna Telegram di Indoensia sudah besar dan terus meningkat. Seperti diketahui, awalnya beredar postingan pendiri dan CEO Telegram Pavel Durov di akun Twitter-nya, yang mengatakan merasa strange (aneh) dengan rencana Kemenkominfo RI untuk memblokir Telegram, dan berargumen bahwa sebelumnya tidak ada pemberitahuan kepada pengelola Telegram.
Tapi sepertinya, itu hanya sikap ngeles saja. Memang para pengelola Medsos mainstream kadang bersikap jumawa, misalnya dengan kadang pura-pura tidak tahu. Tapi setiap negara memiliki posisi tawar yang relatif kuat dalam berhadapan dengan semua pengelola komunikasi. Apalagi Indonesia yang memiliki jumlah populasi yang sangat besar, 255 juta jiwa.