Silaturahim sering lebih diasosiasikan dengan momen lebaran Idul Fitri, padahal mestinya tidak. Dan praktek atau hiruk pikuk silaturahim itu kurang kental di momen lebaran Idul Adha, padahal mestinya ramai juga. Ungkapan maaf lahir batin seyogyanya diucapkan setiap hari sepanjang tahun dan kepada setiap orang, tapi ternyata tidak. Tiga gambaran fakta ini saja menunjukkan bahwa pemahaman dan praktek silaturahim kita belum utuh.
Silaturahim secara bahasa
Secara bahasa, kata silaturahim (صِلَةُ الرَّحِم) bermakna menyambung kasih da berlaku saling menghormati antar sesama manusia.
Dan kosakata rahim yang berasal dari akar kata ra-hi-ma (رَحِمَ), dapat diartikan dalam tiga makna: (1) rahim dalam pengertian kandungan di perut wanita; (2) hubungan kekerabatan;
(3) hubungan pergaulan antar sesama manusia.
Dan hubungan pergaulan kemanusiaan itu biasanya dipahami secara bertingkat dan berlapis-lapis (1) hubungan keluarga inti (yakni hubungan keluarga yang tidak dibolehkan saling kawin, yakni kakek-nenek, ayah-ibu-anak-cucu, ponakan lansung, paman-bibi lansung); (2) hubungan kekerabatan yang dibelehkan saling kawin (sepupu, ponakan tidak lansung, paman-bibi tidak lansung); (3) hubungan tetangga yang biasanya dihitung dalam radius 40 rumah dari rumah kita; (4) hubungan/relasi kerja; dan (5) hubungan kemanusiaan secara keseluruhan.
Silaturahim secara syariat
Di kalangan ahli fikhi, menyambung silaturahim lebih sebagai persoalan etika. Maksudnya, semua kita bebas memilih untuk menjalin silaturahim dengan siapapun. Sampai di sini, tidak ada persoalan hukumnya.
Tetapi memutus silaturahim adalah persoalan yang memiliki konsekuensi hukum. Artinya memutus hubungan silaturahim dengan sengaja adalah dosa. Sebuah hadits Nabi menegaskan, “Orang yang memutus silaturahim tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari.”
Para ahli syariat tampaknya membedakan antara memutus silaturahim secara aktif (membenci dan mendendam dan memzalimi) yang memiliki konsekuensi hukum di satu pihak, dengan tidak menjalin silaturahim karena memang tidak/belum diperlukan yang lebih merupakan persoalan etika tanpa konsekuensi hukum di pihak lain.
Silaturahim secara ma’rifat
Tapi kalau coba dikaji lebih dalam, menjalin hubungan kemanusiaan secara ma’rifat kira-kira dapat dimaknai antara lain sebagai berikut: