Kalau sempat dan berkenan, coba sesekali membaca ulang konsep “Orangtua Asuh” untuk membiayai sekolah anak-anak keluarga miskin di era Rezim Soeharto. Ide brilian itu sangat cantik, meski berantakan di operasionalnya dan nyaris tak terdengar lagi setelah Soeharto lengser keprabon. Jika dibandingkan, konsep “Orangtua Asuh” itu mirip atau jangan-jangan malah mencontoh konsep beasiswa komunitas Yahudi.
Tidak ada dokumen yang bisa dijadikan rujukan utama. Tapi konon, ide atau konsep beasiswa khusus untuk putra-putri Yahudi ini muncul bersamaan dengan pertemuan tokoh-tokoh Yahudi dunia (Kongres Zionis pertama) di Basel, Swiss pada 1897, yang diinisiasi oleh Theodore Hertzel, yang awalnya fokus mengusung ide Zionisme untuk mendirikan negara sendiri untuk semua komunitas Yahudi di dunia.
Di tengah pertemuan di Basel itulah, muncul gagasan pembentukan sebuah lembaga yang fokus mengurus pemberian beasiswa bagi putra-putri Yahudi di seluruh dunia. Belakangan, operasional pemberian beasiswa ini kemudian diurus lembaga yang bernama “The Jewish Agency” (dalam situsnya disebut berdiri secara resmi sejak 1929, dan saat ini memiliki kantor megah di Tel Aviv, Israel).
Saya pernah melakukan riset khusus tentang beasiswa Yahudi itu ketika masih bermukim di Kairo, melalui komunikasi dengan beberapa warga Yahudi Mesir dan sejumlah pakar Israel di Mesir. Dan hasilnya sungguh mencengangkan: ternyata, konsep beasiswa untuk putra-putri Yahudi itu sangat sederhana, tidak berbelit-belit. Namun karena jajaran pengelolanya memiliki dedikasi tinggi dan mengoperasikannya sepenuh hati, hasilnya sungguh gemilang.
Beasiswa abadi ini, didahului dengan pengumpulan dana abadi yang ditentukan jumlah minimalnya. Lalu beasiswa yang disalurkan hanya menggunakan bunga dari dana abadi tersebut. Oleh karena operasionalnya sangat accountable dan transparan, dana abadi itu bertambah signifikan dari tahun ke tahun, sehingga jumlah siswa/mahasiswa Yahudi penerima beasiswa juga semakin banyak.
Ilustrasi sederhana: sebutlah dana abadi awal itu sebesar Rp 1 miliar, dengan asumsi bunga sebesar 7-8 persen per tahun, berarti bunganya bisa mencapai sekitar Rp6,6 juta per bulan. Beasiswa yang disalurkan hanya Rp6,6 juta per bulan, tanpa mengutak-atik dana abadi yang Rp1 miliar tersebut. Artinya dana Rp6,6 juta per bulan itu mungkin cukup untuk membiayai sekolah 60 siswa kelas satu SD.
Karena penyaluran beasiswa itu bersifat real dan transparan, banyak orang Yahudi kaya yang ikut menyumbangkan dananya untuk menambah jumlah dana abadi. Ketika dana abadi menjadi Rp2 miliar, misalnya, berarti bisa mendanai 60 siswa kelas dua SD, dan begitu seterusnya.
Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan terkait sukses gemilang program beasiswa The Jewish Agency. Komunitas Yahudi adalah (mungkin) satu-satunya suku-bangsa di dunia yang memiliki catatan kelahiran yang paling rapi dan lengkap.
Di Jerusalem ada sebuah lembaga yang khusus mendata setiap warga Yahudi di manapun di dunia ini. Kalau Anda orang Yahudi, Anda bisa mendatangi lembaga itu, dan jika bisa memberikan bukti awal bahwa diri Anda adalah benar Yahudi, maka Anda akan diperlihatkan pohon-ranting-dahan keluarga Anda sampai ke Nabi Ibrahim. Dalam beberapa kasus, database komunitas Yahudi itu bahkan bisa memperlihatkan misalnya kakek ketujuh Anda menggunakan nama Benjamin ketika berdomsili di Spanyol dan berprofesi tukang jahit, kemudian pindah ke Swiss dan mengubah namanya menjadi Kohen dengan profesi rentenir.
Database komunitas Yahudi ini sangat membantu penyaluran beasiswa. Sebab akan ketahuan keluarga Yahudi mana yang perlu diprioritaskan mendapat beasiswa. Karena itu, nyaris mustahil menemukan putra-putri Yahudi di manapun di dunia ini berhenti sekolah hanya karena tidak mampu membayar SPP atau uang kuliah.
Selain itu, beasiswa khusus untuk putra-putri Yahudi itu dilakukan dengan doktrin keagamaan yang kental, disemangati mental minoritas yang harus survive, dan cita-cita mempertahankan keunggulan ras, dan tentu saja tradisi keilmuan di kalangan setiap rumah tangga Yahudi (lihat artike “Mencermati Tradisi Keilmuan di Lingkungan Rumah Tangga Yahudi”, Kompasiana, 20 Mei 2016).