Syarifuddin Abdullah | Ahad, 10 Januari 2016
Imam Bonjol (1772-1864), Sang Pahlawan Nasional yang identik dengan uang kertas pecahan lima ribu perak, sebenarnya bernama asli Muhammad Syahab (kadang juga dipanggil Peto Syarif dan Malim Basa). Bahwa kemudian digelari Imam Bonjol (nisbah kepada tempat di wilayah Pasaman, Sumatera Barat), itu menunjukkan beliau sungguh benar seorang figur yang ditokohkan dan diposisikan sebagai pemimpin.
Dalam bahasa Arab, kata imam biasanya merujuk pada tiga makna: (1) imam sebagai pemimpin shalat berjamaah; (2) pemimpin umat dalam pengertian keilmuan spiritual keagamaan seperti Imam Syafi'i atau Imam Ahmad. Kira-kira setara dengan gelar kiai di Indonesia. Meski harus diakui bahwa gelar Kiai telah disandang banyak orang secara kulakan; dan (3) pemimpin yang real dalam pengertian umum, baik dalam skala kecil seperti pergerakan ataupun dalam skala besar seperti pemimpin rezim kekuasaan. Karena itu imam juga kadang identik dengan khalifah.
Mengasosiasikan seorang tokoh dengan asal dan tempat kelahirannya juga jamak ditemukan dalam sejarah Islam. Kalau Anda biasa tahlilan, pasti mengenal buku Barzanji (susunan senandung bersyair tentang riwayat hidup Nabi Muhammad saw). Penulisnya bernama Sayyid Ja’far bin Hasan (1690-1766), namun lebih populer dengan nama Al-Barzanji, karena berasal dari kampung Barzinj di wilayah Kurdistan.
Di beberapa wilayah di Indonesia, tokoh yang dinisbahkan kepada kampung/desa asalnya atau tempat kelahirannya, jumlahnya tidak banyak. Syekh Muhammad Umar Nawawi (1815-1897) juga popular dengan gelar Al-Bantani, karena lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten. Termasuk figur Imam Bonjol: yang sudah imam, tuanku pula.
Di beberapa wilayah Sulawesi, juga dikenal istilah Imam Desa. Tapi ini soal lain. Sebab Imam Desa adalah “imam tetap dan resmi” di masjid tingkat Desa, dan lebih sebagai gelar bergilir, yang secara otomatis disandang oleh setiap imam tetap di masjid Desa. Kira-kira setara dengan gelar Imam Besar untuk Masjid Istiqlal di Jakarta. Di Mesir, Grand-Syaikh Al-Azhar juga digelari Imam Akbar (pemimpin besar).
Dan umumnya, gelar imam itu dipakai karena pemilik nama awalnya memang benar-benar seorang imam tetap di sebuah masjid. Dan karena yang bersangkutan dianggap mewakili wilayah, maka dia digelari bukan hanya sebagai imam masjid tertentu (tempat dia menjadi imam shalat benaran), tetapi namanya kemudian dinisbatkan ke nama tempat yang lebih luas dari lokasi masjid itu.
Di wilayah Mandar Sulbar misalnya, ada seorang ulama bernama asli Muhammad Thahir, tapi warga lebih mengenalnya dengan sebutan Imam Lapeo, nisbah kepada kampung Lapeo, di Kecamatan Campalagian, Polman, Sulbar (lihat artikel Kearifan Lokal-08). Beliau pernah menjadi Imam di masjid kampung Lapeo, yang kini juga populer dengan Masjid Lapeo. Dan gelar seperti ini tidak bisa diwarisi atau diwariskan, artinya tidak mungkin ada ulama lain yang menyandang gelar Imam Lapeo, siapapun dia dan sedalam apapun ilmunya.
Apapun itu, ketokohan seorang alim bisa diidentifikasi melalui gelar yang disandangnya dan diakui masyarakat. Salah satunya adalah gelar imam.
Maka, seorang tokoh asal Bekasi dan menjadi imam tetap di sebuah masjid di Bekasi, kalau benar sungguh dia seorang tokoh, bisa saja digelari atau dipanggil Imam Bekasi. Begitu juga, Imam Depok, Imam Jakarta, Imam Bandung, Imam Makassar, Imam Medan, Imam Surabaya dan seterusnya (tapi kayaknya belum ada, tuh).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H