[caption caption="File pribadi, peta dimodifikasi"][/caption]Syarifuddin Abdullah | Kamis, 07 Januari 2016
Kearifan lokal ini agak-agak klenis-mistis-sufis, tapi sudah lama dilakoni hampir semua nelayan di wilayah Mandar, ketika berlayar di laut.
Dan bagi setiap nelayan di manapun, laut adalah sumber rezki dan kehidupan. Namun laut juga adalah alam yang sulit diduga. Mungkin cuaca terang di pagi hari, dan semua nelayan berangkat berlayar mengadu nasib, tiba-tiba awan berkecamuk ekstrem di siang hari. Kalau tidak antisipatif dengan segera kembali ke darat, akibatnya bisa fatal.
Dan sebagian nelayan Mandar, dengan sedikit nekat mungkin, kadang tidak terlalu peduli dengan perubahan cuaca, dan tetap saja berangkat melaut. Mereka punya kearifan tentang how to deal with (bagaimana memperlakukan) perubahan cuaca yang ekstrem, ketika sedang berlayar di tengah laut.
Sumaila, seorang nelayan yang berdomisili di Teluk Mandar, pesisir barat Pulau Sulawesi, bercerita tentang sebuah kasus yang unik:
“Pada suatu hari, saya dan dua teman nalayan sepakat berangkat melaut. Sampai siang, tidak ada masalah. Lewat tengah hari, kami mendapatkan gerombolan ikan tuna, lalu kami menjalanya, hasilnya lumayan besar.
“Menjelang sore, sekitar pukul 14.00, kami putuskan kembali ke darat. Sebab dari arah timur tampak gumpalan awan yang makin lama semakin menghitam, yang menunjukkan akan terjadi badai hujan dan angin.
“Haluan kapal sudah mengarah ke barat, menuju darat. Lalu, dalam hitungan menit, kami menyadari perahu nelayan (berukuran panjang sekitar 12 meter dan lebar 3 meter) sudah berada di dalam pusaran angin dan badai hujan lebat. Gemuruh guntur bersahut-sahutan yang ditingkahi kilat yang menjulang ke langit. Suasana gelap walau masih siang. Perahu terombang-ambing tak karuang, kami bertiga semua basah kuyup, tapi kami masih berusaha mengendalikannya, dan berusaha tidak kehilangan harapan.
“Dalam hati, saya berbisik: kalau begini situasinya, persoalannya mungkin akan selesai di sini... Tapi pertologan-Mu, ya Allah.
“Setelah berlangsung sekitar seperempat jam, dan belum ada tanda-tanda badai akan segera berakhir, tiba-tiba teman nelayan lain, berdiri sambil pegangan di tiang perahu, berposisi seolah-olah ingin mengumandangkan azan (saya pikir dia ingin ber-azan benaran), tapi saya mendengarnya berteriak dengan suara kencang penuh: iii-mmm-aaa-mmm Laaapeeeooo (maksudnya: Imam Lapeo). Percaya atau tidak, badai angin kontan menjadi bersahabat sepoi-sepoi, badai hujan lebat berubah menjadi hujan rintik-rintik. Alhamdulillah.
Siapa Imam Lapeo itu?