[caption caption="File pribadi, salah satu bagian Kali Ciliwung di bilangan Pasar Minggu, Jakarta"][/caption]
Ciliwung memang tak sebesar dua sungai: Euphrat dan Tigris, yang mengapit kota Baghad yang tersohor dengan sebutan kota seribu satu malam.
Ciliwung juga tidak sebesar Sungai Nil yang mengaliri Kota Kairo Mesir, yang bahkan malah disakralkan di era Firaun kuno.
Jakarta pun tidak setara dengan Kota Khartoum Sudan yang menjadi pertemuan Sungai Nil Biru (yang hulunya di Danau Tana, Ethiopia) dan Sungai Nil Putih (yang berhulu di danau Victoria, Uganda).
Dan pasti, Ciliwung tentu tidak seindah dan tidak sebersih Sungai Thames yang mengiris Kota London, Inggris.
Tapi Ciliwung adalah sungai terbesar yang membelah Kota Jakarta, mengalir meliuk-meliuk seperti lekukan ular yang sedang melata membelah pohon-pohon di hutan rimba, dari wilayah pegunungan tanah Jawa bagian barat dan bermuara di Laut Jawa.
Tapi, sangat sedikit karya sastra yang mengabadikan Ciliwung. Tak banyak novel terkenal yang melegendakan keperkasaan alami, keganasan alami dan keindahan alami Ciliwung. Salah satunya mungkin novel “Brandal-Brandal Ciliwung” karya Achmad S (1973), yang pada tahun 2012 diangkat ke layar lebar.
Cerita-cerita rakyat tentang Ciliwung tidak terangkum dalam karya sastra yang melegenda dan dibaca turun temurun, dari generasi ke generasi dan bisa menjadi rujukan kebudayaan tentang Ciliwung.
Tak terdengar lagi seorang ibu yang mengayun bayinya sambil melantunkan senandung tentang Ciliwung. Lagu-lagu rakyat tentang Ciliwung – dengan irama qasidah atau dangdut sekalipun – nyaris tak ada yang seterkenal lagu “Bengawan Solo”-nya Gesang.
Padahal, sejak zaman Si Pitung, Ciliwung telah menjadi muara kehidupan. Cerita-cerita kependekaran Betawi umumnya terkait, langsung ataupun tidak langsung, dengan Ciliwung. Maka Si Pitung, dalam posisinya sebagai pendekar ala Robinhood yang lahir di Rawabelong – yang notobene relatif jauh dari tepian Kali Ciliwung – justru sering diasosiasikan dengan Ciliwung.
Yang terjadi kemudian, setiap tahun di puncak musim penghujan, kosakata Ciliwung menjadi kata yang sering diucapkan reporter televisi/radio dan/atau ditulis oleh para kuli tinta. Cuma bukan Ciliwung sebagai karya sastra, tapi Ciliwung sebagai sumber bencana banjir.