Secara sosilogis, ada dua jenis identias sosial yang paling mudah diidentifikasi dan sekaligus paling melekat pada diri setiap orang: etnis dan agama. Karakter utama dua identitas ini bersifat sangat radikal, dalam arti sangat mendasar, pada alam bawah sadar setiap orang.
Dan identitas etnis biasanya jauh lebih kental daripada identitas agama. Sebab setiap orang tak bisa memilih suku/etnisnya. Sementara identitas agama, setiap orang bisa berpindah keyakinan agama, atau malah tidak beragama samasekali. Dengan kata etnis/suku tak mungkin berubah, sementara agama dapat berganti.
Karena itu, juga secara sosiologis, menafikan keterlibatan identitas agama dan etnis dalam setiap kegiatan sosial dan politik – termasuk dalam Pemilu – adalah kerangka berpikir yang ahistoris. Menafikan sejarah.
Maka saya termasuk yang sangat bisa memahami, jika setiap warga etnis Tionghoa/China di DKI – pada Pilgub DKI 2017 –lebih cenderung memilih Ahok dibanding dua Paslon pesaingnya: Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Ada keterkaitan emosional antara pemilih yang China dengan Ahok yang China. Sangat normal. Apakah itu sikap rasis? Ya tidaklah.
Saya pun amat bisa memahami bila sebagian besar warga Kristiani di DKI – misalnya pada Pilgub DKI 2017 – akan lebih cenderung memilih Ahok dibanding dua Paslon pesaingnya: Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Kita tidak bisa menafikan adanya keterkaitan emosional antara pemilih yang Kristen dengan Ahok yang juga Kristen. Sangat normal. Apakah itu SARA, ya tidaklah.
Seorang warga DKI asal wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis nasionalis, Magelang dan sekitarnya – pada Pilgub DKI 2017 misalnya – normal saja jika lebih cenderung memilih Paslon yang ada faktor Djarot. Sebab Djarot memang berasal dari Magelang. Di sini ada keterikatan emosional antara Djarot yang berasal dari Magelang dengan pemilih asal Magelang dan sekitarnya. Bahkan sebagian warga Jawa Timuran memilih Paslon Ahok-Djarot semata karena Djarot pernah menjabat Walikota Blitar.
Dalam sejarah politik nasional (melalui kebijakan fusi Parpol 1973 di eraOrde Baru), sebagian besar komponen strategis Kristen di Indonesia – PartaiKristen Indonesia, misalnya – memang akhirnya bermuara di PDIP. Meskipun PDIP tidak lantas identik dengan identitas Kristen. Namun menafikan elemen Kristen di PDIP juga ahistoris.
Bahwa kemudian pilihan dalam Pilgub DKI itu juga dijustifikasi dengan seabrek alasan lain: rekam jejak, prestasi ketika menjabat, titel akademis, atau keberanian dan profesionalitas, atau program yang lebih realistis, keberanian menantang kezaliman, itu juga oke-oke saja. Namun semua alasan justifikasi tambahan itu, tidak akan pernah bisa menghapus dua identitas sosial yang paling kental tadi: etnis dan agama.
Uraian di atas, dengan alasan yang sama dan paralel, juga berlaku bagi pemilih Muslim dan Pribumi ketika memilih Agus-Sylvi atau Anies-Sandi. Memang ada yang kemudian berargumentasi tentang penelitian genetika yang mengatakan sebenarnya tidak ada warga pribumi asli di Indonesia. Ya, iyalah. Kita semua anak-cucu keturunan Adam. Atau bagi yang percaya teori Darwin, kenapa tidak sekalian bilang kita adalah hasil evolusi dari monyet.Â
Poin yang ingin saya tegaskan, sekali lagi, jangan menafikan perbedaan. Sebab jika disandingkan misalnya antara Sandiaga Uno dan Ahok, dari tampilan wajahnya saja sudah beda. Apalagi gaya dan sleng bahasa. Meskpiun keduanya putih, tapi nuansa warna putih kulitnya tetap saja beda.Â