[caption caption="File pribadi"][/caption]Di depan kontrakan petakannya, di sebuah gang buntu yang lebarnya hanya cukup untuk sepeda motor, si Saya duduk santai, merebahkan tubuh di kursi bambu yang sudah kusam dan berlumut, sambil mengepulkan asap kretek. Sesekali dia mengeluarkan asap sambil memonyongkan mulutnya, dan asap itu keluar berbentuk lingkaran menyerupai gelang atau angka nol atau hurup “O”.
“Ya, Ya! melamun lagi?” tegur seorang tetangganya di kontrakan sebelahnya, yang biasa dia panggil om.
Sambil memperbaiki posisi duduknya, si Saya membalas “Iya, Om. He he he”.
Si Saya sudah tidak ingat berapa kali sudah si Om itu menegurnya dengan sapaan yang sama: “Ya, Ya, melamun lagi?” Dan dia pun membalasnya dengan kata dan kalimat yang juga sama, disusul dengan ketawa cengengesan: “Iya, Om. He he he”.
Si Om itu mungkin berpikir, si Saya melamun tentang pekerjaannya sebagai cleaning service di sebuah perusahaan swasta, atau tentang pacarnya di kampung yang kabarnya sudah berpacaran dengan cowok barunya, atau seorang pegawai di kantor yang meminta dibuatkan kopi sampai tiga kali sehari, tapi tidak pernah memberinya tip.
Sudah berbulan-bulan lamanya si Saya duduk santai seperti itu setiap hari libur, di kursi panjang yang terbuat dari bambu, yang kusam dan berlumut itu, merebahkan badan di sandaran kursi yang terpasang dengan kemiringan 45 derajat, sambil menselonjorkan kakinya dan melamun: bukan tentang pekerjaannya, bukan pula tentang pacarnya, bukan tentang pegawai yang candu minum kopi dan pelit itu. Tapi mengenai rekening banknya di sebuah bank swasta.
Pada lebaran tahun lalu, si Saya dapat rezki nomplok. Selain THR, dia memperoleh insentif yang lumayan besar – untuk ukuran pekerjaannya sebagai cleaning service: Rp5 juta. Setelah digunakan mudik, dan belanja baju dan celana baru, juga sangu untuk keluarga dekatnya di kampung, dia kembali ke Jakarta dengan sisa duit yang masih lumayan: Rp2 juta rupiah.
Dengan saldo cash Rp2 juta sisa mudik itu, si Saya membuka rekening di sebuah bank swasta. Tapi tidak genap tiga bulan kemudian, saldo di rekeningnya sudah tidak cukup untuk melakukan penarikan tunai. Setelah itu, berkali-kali dan setiap kali dia mengecek saldo rekeningnya, di layar ATM selalu muncul kalimat: “Saldo Anda tidak cukup untuk melakukan transaksi”.
Pada bulan keempat, sejak membuka rekeningnya, si Saya mulai berangan-angan liar: dari sekian ribu – mungkin puluhan ribu – transaksi di bank itu setiap hari, dia melamun dan berharap ada satu transkasi saja yang salah dan masuk ke rekeningnya, menambah saldonya.
Siapa tahu, dia melamun, saldo rekeningnya yang hanya sisa lima digit itu (tepatnya 45.000), tiba-tiba ketiban satu digit, akibat kesalahan pencet tombol komputer dan menambah angka di saldonya menjadi tujuh digit (jutaan).
Meski tidak rasional, namanya saja mengkhayal, Si Saya sebenarnya tidak berharap muluk-muluk. Pertambahan digit di saldo rekeningnya, tidak perlu terjadi di angka paling kiri. Dia hanya mengkhayal pertambahan digit terjadi di sebelah kanan, itu pun hanya angka nol saja, sehingga saldonya yang Rp45.000 menjadi Rp450.000, terus bulan berikutnya angka nol di sebelah kanan bertambah satu digit lagi menjadi Rp4.500.000, dan kalau bisa, bulan berikutnya bertambah lagi menjadi Rp45.000.000.