Hoax biasanya dijelaskan begini: a plan to deceive someone, such as telling the police there is a bomb somewhere when there is not one, or a trick (Cambridge English Dictionary), yakni rencana untuk menipu seseorang, seperti melaporkan ke polisi bahwa ada sebuah bom di suatu tempat, padahal sebenarnya tidak ada bom. Kadang juga hoax diartikan trick atau intrik.
Atau a deliberately fabricated falsehood made to masquerade as the truth (sebuah tipuan yang sengaja yang dibuat lalu disamarkan agar tamapk seperti fakta kebenaran.
Dengan begitu, hoax mengandung makna: mengelabui, menipu, membohongi. Lantas di mana persoalannnya? Bukankah mengelabui, menipu dan membohongi itu adalah perilaku manusia sejak zaman baheula. Serupa dengan propaganda.
Bukankah seluruh lini kehidupan adalah percampuran – atau lebih tepatnya proses dinamis – yang berayun antara kebenaran dan kebohongan. Pengalamanlah yang kemudian membuat kita lebih dewasa dan lebih mampu membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan. Dan sungguh keliru bila ada yang berasumsi bahwa kita bisa terbebas dari kebohongan dan/atau menjadi korban hoax. Klaim maksimal yang bisa dikatakan adalah: “jangan terlalu gampang dibohongi!”
Dan ada yang menggelitik: kenapa kita mempersoalkan sebuah meme hoax, sementara setiap hari kita disuapi ikon modernitas yang juga layak disebut hoax, yaitu iklan dengan segala jenisnya, di layar kaca, di jalan-jalan, di media cetak ataupun elektronik. Semua iklan pada dasarnya mengandung kebohongan yang disengaja. Bahkan konon sudah ada ilmunya, maksudnya ilmu untuk memaksimalkan kebohongan, dan orang yang dibohongi tidak sadar bahwa dia sedang dibohongi.
Coba sesekali mencermati iklan kecantikan, yang mempertontonkan sebuah produk kosmetik yang mampu menyihir aktor iklannya, yang awalnya kelihatan hitam dan kusam lalu kontan menjadi putih mulus. Padahal aktor iklan itu sebenarnya memang sudah putih, lalu dibuat hitam, dengan menggunakan teknik tertentu, dan begitu menggunakan kosmetiknya, sang aktor iklan langsung berkulit putih kinclong. Dibohongi kan? Itu hoax atau bukan? Kita bahkan kadang-kadang secara sadar dan sukarela menempatkan diri sebagai orang yang mau dibohongi atau di-hoax-i.
Seorang pakar politik, ketika menganalisis sebuah kasus, lalu sengaja menyembunyikan separuh fakta, dan hanya mengemukakan fakta-fakta yang mendukung pandangannya, bukankah itu juga layak disebut hoax?
Coba sesekali juga perhatikan iklan-iklan herbal, yang biasa diklaim bisa menyebuhkan segala jenis penyakit. Hampir sama dengan era ketika masih marak penjual obat keliling di pasar-pasar tradisional, yang biasanya diawali dengan orasi sang penjual obat, sampai berkeringat dan mulutnya berbusa-busa, kadang disertai atraksi yang tidak ada hubungannya dengan obat jualannya. Setelah banyak orang berkumpul mengelilingi lingkaran yang diberi tanda dengan taburan terigu, penjual obat akan menawarkan obat, dan selalu diklaim bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Dan umumnya obat jualannya adalah obat vitamin biasa.
Kesimpulannya, dari segi makna dan substansinya, hoax sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Kita sudah lama bergaul dengan hoax, bahkan di kalangan pergaulan terbatas sekalipun. Dan barangkali kita juga sudah sering melakukannya, kadang tanpa sadar, dan sering dengan kesadaran penuh. Makanya ada seorang pakar hukum pernah bercanda begini: semua suami adalah candu dalam menyebarkan hoax, terutama kepada istrinya.
Bahwa hoax kemudian tampak seolah-olah sesuatu yang baru, itu lebih karena intensitasnya: jumlahnya banyak dan datang secara bertubi-tubi, sering tanpa diundang pula. Akibatnya, semua orang cenderung kesulitan dan kerepotan mengidentifikasinya. Sebab, kita belum tuntas mengidentikasi satu meme hoax atau berita hoax, sudah muncul lagi beberapa meme dan berita lain, yang juga perlu diidentifikasi.
Dan seperti lazimnya perkembangan tekonologi lainnya, kita dibuat terkaget-kaget dan tergagap-gagap, karena kita tidak/belum memiliki seperangkat tool atau paradigma untuk mengelolanya. Artinya, penyebab utama kenapa kita seakan sepakat bahwa hoax harus diperangi, terutama karena we don't know yet how to deal with it.
Maka untuk menghadapi kebohongan, setiap kita memang perlu menajamkan akal sehat (common sense), setidaknya memiliki kerangka berpikir dalam mengolah setiap isu dan kasus; dan tentu semampunya selalu kritis setiap menghadapi dan/atau menerima semua asupan berita, apapun jenisnya dan dari manapun datangnya. Dalam bahasa agama, sikap kritis itu disebut tabayyun.