Para pendukung dan simpatisan ataupun penentangnya, harus mengakui kapasitas seorang Habib Rizieq. Sebab meskipun tidak semua peserta Aksi Bela Islam (ABI)-II di bawah kendalinya, Habib Rizieq adalah tokoh kunci, inisiator dan penggerak utamanya. Untuk memobilisasi massa dalam jumlah massif seperti yang terjadi dalam ABI-II 411, itu tidak gampang. Habib Rizieq telah membuktikannya.
Tapi kalau coba ditelisik berdasarkan ilmu-ilmu dasar keislaman (ilmu fikhi, ilmu kalam, dan disiplin milal-wa-nihal yang mengulas klasifikasi kelompok-kelompok pergerakan dan pemikiran Islam), sosok Habib Rizieq memang agak unik. Dalam dirinya, melekat sejumlah paradoks, yang menurut saya rada-rada sulit mengurainya.
Sesuai gelar nama dan marganya – Habib Rizieq Syihab – adalah salah seorang yang meyakini memiliki garis keturunan sampai ke Nabi Muhammad saw, melalui fam atau marga atau keluarga Syihab. Sebenarnya di Indonesia, ada persatuan keturunan Nabi dengan nama “Rabitah Alawiyah”. Saya tidak tahu kenapa tidak disebut “Rabitah Habaib”. Dan Habib Rizieq adalah salah satu pengurusnya. Bulan April 2015 lalu, saya berada di Kota Tarim, Yaman, yang merupakan pusat komunitas habaib di Yaman, dan diyakini sebagai asal nenek moyang habaib di Indonesia. Saya mengamati, keturunan Nabi di Yaman lebih populer dengan sebutan sayyidatau bentuk pluralnya: asyad. Mereka itu memahami kata habib atau habaib, tapi saat ini mereka menggunakan gelar sayyidatauasyad itu.
Biasanya, seorang habib yang mengidentifikasinya dirinya sebagai Muslim Sunni, maka secara mazhab fikhi, umumnya akan bermazhab Syafii. Salah satu alasannya, dari empat mazhab yang populer (Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali), memang hanya imam Syafi’i yang merupakan keturunan nabi. Meskipun Syafii sendiri lebih populer dengan sebutan “Imam”, bukan Habib Syafii.
Nah, biasanya orang bermazhab Syafii, akan cenderung bersikap sangat toleran dan bahkan kompromistis dalam setiap persoalan keagamaan dan kebangsaan atau kenegaraan. Artinya, mereka cenderung tidak terlalu ngotot, bersedia menerima argumen pembanding untuk setiap tafsir terhadap setiap persoalan. Karena itu, penganut paham syafii tidak terlalu fanatik terhadap suatu pendapat. Karena itu pula, sering disebut bahwa secara pergerakan, mazhab Syafii-lah yang paling moderat. Watak tersebut termanifestasikan dalam gaya dakwah walisongo, yang semuanya adalah habib, tapi lebih populer dengan gelar Sunan. Misalnya Sunan Ampel, bukan Habib Ampel di Surabaya.
Dalam perkembangannya, untuk kasus Indonesia, kecenderungan pergerakan syafi’iyah itu diwarisi dan diwakili oleh komunitas NU. Dan Habib Rizieq mengaku sebagai ahlussunnah wal-jamaah, yang umumnya dikonotoasikan – kadang secara kurang tepat – sebagai mazhab Syafi’i juga. Tapi media-media asing dan banyak pengamat nasional lebih menggolongkan FPI dan Habib Rizieq sebagai salah satu kelompok dan figur “radikal” di Indonesia. Paradoks kan?
Dengan kata lain, syafiiyah biasanya diposisikan sebagai anti-tesa terhadap Hanbaliah di bidang pergerakan. Karena itu, jangan pernah berharap akan terjadi sinerji maksimal antara NU dan Muhammadiyah. Sebab rujukan fikhi dan model pergerakannya memang sudah beda, dari sononya.
Komunitas habib, di manapun di dunia ini, dari dulu hingga saat ini, dikenal sebagai kelompok umat yang sangat mengagungkan keluarga Nabi. Dari sini kemudian muncul analisa yang mengatakan, setiap Habib kadang lebih cenderung ke Syiah. Tapi Habib Rizieq, dan banyak habaib lainnya di Indonesia, berkali-kali membantah dirinya seorang penganut Syiah.
Sementara itu, kalau melihat praktek fikhi dan wacana-wacana fikhi para anggota FPI, mereka terkesan lebih dekat ke mazhab Hanbali. Sekedar catatan, Habib Rizieq adalah jebolan Fakultas Studi Agama Islam jurusan Fikih dan Ushul, King Saud University, Riyadh, Arab Saudi (1990). Karena itu, banyak orang menilainya sebagai kader Wahhabi, atau minimal Rizieq termasuk yang matang indoktrinasi Wahabisme. Tapi, coba perhatikan ini:
Dengan menegaskan dirinya sebagai loyalis doktrin NKRI, Rizieq bisa duduk bareng dengan kelompok nasionalis, bahkan lembaga-lembaga resmi nasional, yang juga mengusung doktrin NKRI.
Dengan menegaskan dirinya sebagai ahlu sunnah wal jamaah, Habib Rizieq bisa satu panggung dengan ulama-ulama NU.