Periode 60 hari dari sekarang menuju putaran kedua Pilgub DKI, pada 19 April 2017, adalah rentang masa yang pendek untuk dua kubu yang akan bersaing.
Dan poin penting yang perlu dicermati, pada putaran pertama, Timses Paslon “menggarap” pemilih yang belum memilih. Sementara pada putaran kedua, Timses akan berhadapan dengan pemilih yang sudah menentukan pilihannya di putaran pertama. Dan ini perlu pendekatan tersendiri. Gaya lama di putaran pertama mungkin tidak efektif lagi.
Terkait itu, saya melihat ada dua faktor yang berpotensi menggerus elektabiltias Ahok-Djarot:
Faktor pertama, berdasarkan survei, alasan utama setiap pemilih di DKI ketika mencoblos pilihannya di TPS lebih didominasi pertimbangan personal. Pertimbangannya gua banget. Jangan heran, bila anggota satu keluarga di DKI, banyak yang tidak sama pilihannya dalam Pilgub DKI: Si anak nyoblos Ahok-Djarot, bapaknya menusuk Agus-Sylvi, sang ibu memilih Anies-Sandi.
Memang banyak variabel yang terkait langsung dengan pertimbangan yang gua banget itu. Namun, secara sosiologis, ada dua hal yang paling personal pada diri setiap orang – suka tidak suka – yaitu etnis dan agama. Karena itulah, saya samasekali tidak mempersoalkan jika sebagian besar komunitas China di DKI memilih Ahok. Ini normal. Atau jika sebagian besar komunitas Kristen juga cenderung memilihAhok.
Dan harus dicatat, isu agama dan/atau etnis tetap bisa dimainkan dengan cara yang tidak vulgar, jauh dari sentimen SARA. Dan pendekatan seperti inilah yang akan dimainkan oleh kubu Anies-Sandi. Caranya gimana? Konon masih menjadi top secret di kalangan terbatas kubu Anies-Sandi.
Tapi, rumusan kasarnya kira-kira begini: ketika semua variabel keunggulan dan kekurangan (plus-minus) disandingkan antara Ahok-Djarot vs Anies-Sandi, dan skor rata-ratanya ternyata berimbang, maka pemilih akhirnya akan merujuk ke pertimbangan yang gua bangat tadi: etnis dan agama.
Faktor kedua, sikap jor-joran para pendukung Ahok (Ahokers) di Medsos. Pemilih DKI sudah kenyang dengan kampanye jor-joran di Medsos, selama periode putaran pertama. Pola jor-joran itu sering terlalu agresif dan akhirnya terkesan menggurui secara tidak santun, dan sebagian publik netizen akhirnya menyimpulkan sederhana: penipu.
Kalau gaya jor-joran ini dipertahankan oleh para Ahokers selama periode 60 hari ke depan, bukan tidak mungkin, bahkan pemilih yang sudah memilih Ahok pun di putaran pertama, bisa berpindah ke Anies pada putaran kedua.
Sebab pemilih kira-kira akan berkesimpulan begini: like fathers like son, yang kemudian dipelesetkan menjadi: like Ahok, like Ahokers. Sami mawon.
Kalau mau dilanjutkan, silahkan saja. Tapi sekali lagi, mempertahankan gaya jor-joran itu justru berpotensi menggerus elektabilitas Ahok. Jadi maksud hati ingin memaksimalkan dukungan, yang didapat adalah antipati dari para pemilih.