Raja Salman bersama sekitar 1.000 rombongan berada di Bali untuk berlibur selama enam hari. Dan dalam tradisi kerajaan di Saudi Arabia, berlibur selama 6 hari di tempat nan jauh dari pusat kerajaan di Riyadh, juga sebenarnya sudah merupakan peristiwa langka tersendiri.
Kenapa di Bali? Dan apa untungnya buat Bali secara kepariwisataan?
Saya bukan pakar kepariwisataan, namun ada tiga catatan yang mungkin berkaitan langsung dengan efek wisata yang mungkin berpengaruh besar dari kunjungan dan liburan Raja Salman di Bali selama 6 hari 5 malam.
Pertama, Bali semakin menunjukkan kelasnya dan kapasitasnya sebagai tujuan wisata, yang mampu menampung rombongan wisatawan elit yang berjumlah jumbo: sekitar seribu orang.
Seperti diketahui, semua rombongan Raja Salman menginap di empat hotel yang terletak berdekatan dalam satu compound, di kawasan Nusa Dua, Bali.
Coba perhatikan kalimat: “daya tampung dalam satu compound”.
Sebagai perbandingan, sebutlah Surabaya, Medan dan Makassar. Tentu saja banyak hotel mewah di tiga kota itu, cuma lokasinya saling berjauhan. Tidak praktis untuk rombongan jumbo.
Di Jakarta sekalipun, compound yang relatif lengkap mungkin hanya Mega Kuningan. Ketika Raja Salman menginap di Hotel Raffles, sebagian rombongannya di Marriott, Ritz Carlton, Westin. Keempat hotel berkelas ini berada dalam radius sekitar 500 meter.
Kedua, Bali sebenarnya sudah familiar dengan tetamu sekelas pangeran. Para pemilik dan pegawai tempat-tempat entertainment di Bali “sudah paham” cara melayani tamu sekelas pangeran. Di wilayah lain di Indonesia mungkin belum.
Ketiga, dalam dunia pariwisata dikenal istilah “latah”. Contoh, restoran yang pernah dikunjungi oleh artis sinetron sekalipun, biasanya menjadi pemikat bagi pengunjung lain untuk makan di restoran tersebut.
Karena itu banyak restoran besar yang memajang foto-foto artis yang pernah makan di restorannya.