Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dahaga Ekstrem Saat Berpuasa di Makkah

9 Juni 2016   20:57 Diperbarui: 9 Juni 2016   21:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahaga Ekstrem di Makkah, Dokumen Pribadi

Saya cuma pernah satu musim mengalami berpuasa di Makkah pada tahun 1986. Dan sungguh sebuah pengalaman yang menguji keimanan. Ketika itu, saya berkesimpulan, dan kesimpulannya belum berubah hingga saat ini: kalau ingin merasakan beratnya dahaga berpuasa Ramadhan, pergi dan berpuasalah di Makkah, walau hanya sehari saja.

Pada tahun itu, saya dan teman-teman berangkat dengan visa umrah menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Suez Mesir, mengarungi Laut Merah menuju Jeddah Saudi, berlayar selama dua hari dua malam (catatan: perjalanan laut ini punya ceritanya tersendiri).

Singkat cerita, kapal bersandar di Jeddah dimalam hari, lalu kami dijemput dan diantar menuju sebuah rumah teman yang full AC di Jeddah. Jadi suasana puasanya belum terasa. 

Berangkat dari Jeddah menuju Makkah juga di malam hari, sehingga suasana panas Ramadhan pun belum terasa, sampai akhirnya kami menuntaskan rukun umrah (tawaf, sai, dan potong rambut) menjelang subuh. Lalu istirahat.

Saya tertidur pulas hingga jam 10.00, dan terbangun oleh ajakan teman agar bersiap-siap turun ke Masjid Haram untuk menunaikan shalat Jumat. Rupanya hari pertama saya di Makkah jatuh pada hari Jumat.

Saya beres-beres, mandi, berpakaian dan turun ke masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah, tentu dengan berjalan kaki. 

Tanpa persiapan payung, saya menyusuri jalan dari rumah ke masjid, di bawah sengatan terik matahari Makkah yang saat itu bersuhu sekitar 45 derajat celcius. Terang saja, baru beberapa meter dari rumah, saya sudah merasakan haus. Setiba di masjid, kebetulan sudut masjid dari jalan menuju rumah sudah penuh orang. Jadi saya tidak kebagian petak ruangan yang ada kipas anginnya. Dahaga pun mkakin jadi saja.

Akibatnya, saya tidak konsentrasi mendengar khutbah jumat, karena di pikiran saya hanya satu hal: haus, haus, dan haus. Tenggorokan benar-benar terasa kering. Saat itu, saya membahasakannya dengan ungkapan: “dahaganya terasa sampai ke ubun-ubun”.

Shalat Jumat akhirnya selesai dengan cepat, sebab khutbah dan shalatnya memang pendek. Lalu kembali berjalan dari masjid ke rumah yang berjarak 500 meter itu, menyusuri jalan di bawah sengatan terik matahari yang bersuhu sekitar 45 derajat celcius (catatan: karena sudah dalam kondisi haus abis, suhu udara terasa lebih tinggi, perasaannya sekitar 50 derajat celcius, mungkin lebih).

Saya berkali-kali menelan ludah untukmembasahi tenggorokan, tapi ternyata tidak mempan. Malah terasa makin haus saja. Setiba di rumah, saya langsung duduk di depan AC kuno yang bersuara bising itu, sambil sesekali menghadapkan muka-mulut-kepala ke lubang-lubang keluarnya angin sejuk AC. Lumayan menolong, dan saya berharap bisa tertidur.Tapi karena pengaruh kehausan yang ekstrem, bola mata enggan terpejam.

Dari sini kemudian saya diberitahu bahwa ada riwayat yang membolehkan seorang muslim berpuasa untuk membasahi tenggorokannya (berkumur sambil menengadahkan kepala ke langit) bila mengalami kehausanekstrem. Dan saya melakukannya. Selama sekitar lima jam mengalami kehausan, dan itulah pengalaman pertama saya merasakan “puasa yang sesungguhnya”.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun