Setelah berbulan madu selama sekitar 18 bulan – di era Barack Obama – hubungan Iran dan Amerika kembali ke kondisi sebelum kesepakatan Nuklir Iran yang diteken di Viena, Austria pada 14 Juli 2015.
Sejumlah indikasi awal menunjukkan bahwa kali ini, boleh jadi, karakter dan suasana relasi itu cenderung akan lebih konfrontatif dan mungkin lebih terbuka. Kita tahu, selama periode kampanye, beberapa kali Donald Trump mengatakan, kesepakatan Nuklir Iran merupakan “the worst agreement in history (yang terburuk dalam sejarah)”.
Sebagai antisipasi bahwa Trump tidak akan berkomitmen dengan Kesepakatan Nuklir Iran, Ali Akbar Salehi, Kepala Program Nuklir Iran, pada 23 Januari 2016, mengatakan, kesepakatan Nuklir Iran sudah final. Amerika harus menerimanya. Iran tidak akan membahasnya atau mengubahnya. Jika Trump menganulir kesepakatan itu, maka Iran akan kembali ke program nuklirnya seperti sebelum kesepakatan Viena diteken.
Selanjutnya, dalam pekan pertama setelah dilantik menjadi Presiden Amerika, Donald Trump menunjuukkan komitmen sikapnya terhadap Iran. Pada 27 Februari 2017, Trump meneken Executive Order (Perintah Eksekutif), yang memasukkan Iran sebagai salah satu dari 7 negara yang warganya dilarang ke Amerika (bersama Irak, Somalia, Libya, Sudan, Suriah, Yaman).
Dan seolah ingin mengetes dan/atau bahkan menentang kebijakan Donald Trump, pada 30 Januari 2017 – menurut Gedung Putih – Iran telah melakukan uji coba rudal balistiknya, yang meledak pada jarak sejauh 630 mil (sekitar 1.167 km) dari lokasi peluncurannya. Iran diyakini memiliki rudal dengan jelajah 2.000 km, yang berarti mampu mencapai wilayah Israel dan pangkalan militer Amerika di berbagai negara di kawasan Timur Tengah.
Selanjutnya pada 01 Februari 2017, dengan nada mengejek, Presiden Iran Hasan Rouhani mengatakan, “Presiden Amerika adalah politisi pemula, yang memerlukan waktu belajar untuk dapat memahami kondisi global... Dan sikapnya itu justru menelanjangi sikap asli Amerika”.
Hanya selang sehari kemudian, pada 02 Februari 2017, Penasehat National Security Gedung Putih mengatakan, “...as of today, we are officially putting Iran on notice” (sampai hari ini, secara resmi kami telah menempatkan Iran sebagai negara dengan kategori ‘on notice’). Pernyataan ini dipertegas oleh status akun Twitter Donalad Trump: “Iran has been PUT ON NOTICE for firing a ballistic missile”. Pada hari yang sama, Gedung Putih juga mengeritik keras intervensi Iran dalam konflik di Irak dan di Yaman.
Tapi para komentator politik pada bingung menjelaskan maksud kalimat “on notice”. Sebuah istilah yang tidak lazim dalam diplomasi G-to-G, yang kalau diterjemahkan dengan bahasa gaul, kira-kira berarti “Kamu, sudah diberitahu, lho”, atau “Anda dalam pengawasan”.
Beberapa catatan:
- Donald Trump dan kabinetnya memang sangat berkepentingan memelihara tensi tinggi terkait hubungan Amerika dengan Iran, untuk membuktikan komitmen dan janji-janjinya selama periode kampanye.
- Menlu baru Amerika, Rex Tillerson yang notabene mantan eksekutif perusahaan minyak Amerika, Exxon Mobil, diasumsikan sudah lama menjalin hubungan dengan palaku industri minyak di Irak dan Kurdisan, dan karena itu juga memiliki hubungan dengan jajaran petinggi di Iran. Faktor Rex Tillerson diperkirakan akan memainkan peran kunci untuk mengatur ritme relasi Amerika-Iran selanjutnya.
- Dalam waktu dekat, kecil kemungkinan akan terjadi konfrontasi militer darat yang berskala besar antara Amerika dan Iran. Gesekan-gesekan kecil mungkin sesekali akan terjadi di perairan Teluk Persia. Tapi tidak ada satu pihak pun di dunia saat ini yang mau memprovokasi konfrontasi militer besar-besaran di Teluk Persia, yang merupakan salah satu lalu lintas tanker utama, yang mengsuplai minyak ke berbagai belahan bumi.
- Sejauh ini, Iran cukup pede dengan sikap dan posisinya, dengan asumsi bahwa Rusia cq Vladimir Putin tidak akan membiarkan Iran – salah satu mitra strategis regional Rusia – diobok-obok Amerika.
- Yang paling penting, Iran bukan negara yang mudah digertak, tidak enteng pula diserang seenaknya. Sistem pertahanan udara Iran sepenuhnya menggunakan sistem pertahanan udara Rusia. Dan kalau diboikot lagi, Iran sudah berpengalaman puluhan tahun menyiasatinya.
- Secara regional, terdapat dua negara yang menyambut baik dan bahkan akan terus memprovokasi Donald Trump agar terus menempuh jalur keras terhadap Iran, yaitu Arab Saudi dan Israel.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 03 Februari 2017 / 07 Jumadil-ula 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H