Karena tidak ada catatan pasti tanggal kelahirannya, kami putra-putrinya memperkirakan usianya masih kurang dari 40 tahun ketika ayah wafat empat puluh tahun lalu, 1975. Di rumah, kami memanggilnya Pua’ (Bahasa Mandar = ayah).
Usiaku baru 9 tahun, duduk di kelas tiga SD, ketika ayah wafat. Masih ingat persis, dari lima anaknya, sayalah yang paling menangis, meronta-ronta, hampir mengamuk, karena menyadari akan kehilangan ayah untuk selama-lamanya. Sepeninggal ayah, Amma’-lah yang membesarkan kami semua.
Dokumentasi foto-foto ayah amat langka. Foto yang ada pun hitam putih, dengan gambar yang sudah buram. Tidak ada satupun foto yang memperlihatkan detail garis-garis di raut muka ayah. Sesekali memang, misalnya di hari Idul Fitri, ayah memanggil tukang foto kampung, untuk mengabadikan moment Idul Fitri, berfoto rame-rame.
Ayah, entah mengapa tiba-tiba saya mengingatmu begitu rupa, sampai akhirnya memutuskan menulis semacam surat terbuka ini kepadamu di akhirat. Saya ingin mengabari bahwa memang kadang aku lupa mendoakanmu. Namun di saat ingat, aku mendoakanmu setulus-tulusnya, sedemikian rupa sampai saya yakin seyakin-yakinnya Allah mengabulkannya.
Karena ayah wafat ketika kami putra-putrimu masih kecil, kami memang tidak lama merasakan bimbingan langsung dan kasih sayangmu, sebagai ayah. Makanya, saya kadang “cemburu” melihat orang-orang seusiaku, dan ayah-ibunya masih hidup.
Namun ada moment-moment tertentu yang masih teringat detail kejadiannya: Rumah kami di kampung tidak punya WC, semua warga mandi di sungai. Di pagi atau di sore hari, saat pergi ke sungai untuk mandi, ayah kadang menggendongku dengan cara mendudukkanku di salah satu bahumu, dan sambil bercanda ayah berkata: “Pu’din, ayah tidak akan memegangmu. Pegangan sendiri biar kamu tidak jatuh”. Dan benar, dia tidak memegangku, yang membuatku seperti berjibaku bertahan memperbaiki posisi dengan cara memeluk erat kepalanya, sambil berpegangan di telinganya atau rambutnya. Dan tampaknya, ayah sangat menikmati ketika saya melakukan “gerakan-gerakan takut jatuh dari bahunya”.
Ah, seandainya pun Ayah masih hidup, belum banyak yang ayah dapat banggakan tentang anakmu ini. Namun kemanapun pergi dan apapun yang saya lakukan, ayah selalu bersamaku dan berharap ayah bangga melihatku.
Ayah, kini saya sudah berusia lebih tua dibanding usiamu ketika wafat. Aku pun juga telah menjadi ayah untuk anak-anakku. Dan sampai kini pun, masih terus berupaya dan belum yakin apakah saya bisa menjadi ayah seperti engkau menjadi ayahku.
Ayah, aku merindukanmu.
Senin, 24 Agustus 2015 | Syarifuddin Abdullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H