Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abah

20 April 2016   23:06 Diperbarui: 21 April 2016   11:46 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="File pribadi"][/caption]Saya dan tetangga lainnya terbiasa memanggilnya Abah. Usianya mungkin terpaut sekitar 15 tahun lebih tua dari saya. Tapi dibanding saya, gerakannya masih lincah dan gesit. Otot-otot kedua tangannya tampak keras dan tegas. Katanya dia berasal dari sebuah kampung yang terletak di ujung barat bagian selatan Pulau Jawa. Karena jalanannya rusak, dari Jakarta bisa ditempuh sampai enam jam naik mobil.

Saya tidak tahu persis sejak kapan si Abah akrab dengan penghuni apartemen yang kami tempati.

Saya bertanya kepada seorang tetangga: “Apakah si Abah petugas kebersihan di apartemen ini?” | “Bukan” | "Apakah dia mendapatkan gaji tetap dari bagian administrasi apartemen? | “Tidak” | “Sejak kapan si Abah ‘mengabdikan diri’ di apartemen ini? | “Tidak tahu” | “Apakah ada salah satu penghuni apartemen yang barangkali memiliki hubungan kekerabatan dengan si Abah? | “Tidak ada” | “Lantas siapa sesungguhnya si Abah”.

Saya tambah penasaran ketika diberitahu oleh Pak Sukiman, seorang penghuni apartemen bahwa si Abah, setiap malam, tidur di lantai atas apartemen, dia menggelar tikar di bawah tangga yang menuju dak atas apartemen. “Terus makannya gimana?” | “Banyak ibu-ibu penghuni apartemen yang memberinya makanan, setiap hari”.

Setiap pagi, ketika akan berangkat ke tempat kerja, saya melihat si Abah sudah duduk di beranda lobi depan apartemen, seolah menunggu ada penghuni apartemen yang meminta tolong kepadanya: cuci mobil, dibeliin rokok, memperbaiki kamar mandi yang mungkin bocor.

Suatu sore, saya pulang kerja. Dan si Abah terlihat sedang duduk di emperan parkiran mobil. Dan untuk pertama kalinya, saya memberinya uang Rp50.000, sebelum memintanya untuk mencuci dua mobil. “Mobilnya yang mana pak?” | “Mobil warna hitam dan cream  di parkiran nomor 4xx | “Iya nanti saya cuci. Tapi kenapa saya dikasih duit, padahal saya belum berkerja, mencuci mobil”.

Saya tidak mempedulikan komentar Abah yang terakhir. Sebab saya memang hanya ingin memberinya duit, dan karena kebetulan dua mobil itu agak kotor, saya memintanya mencucinya sekalian.

Saya tidak atau belum punya alasan untuk merasa curiga sedikitpun terhadap Abah. Pengalaman hidup mengajarkan saya untuk tidak menyinggung perasaan seseorang, siapapun dia, yang selalu memposisikan diri ingin membantu orang lain.

Suatu sore, di hari minggu, Abah baru saja selesai mencuci mobil seorang penghuni apartemen. Sambil bertanya apa kabarnya, saya mengajaknya ngobrol.

Si Abah lancar bercerita: “Pada tahun 1980-an, saya pernah menjadi supir angkot trayek Kebayoran – Bintara. Makanya saya tahu, alhamdulillah, kalau giliran mencuci mobil, bagian-bagian mana dari mobil yang perlu disemprot air lebih kencan, sebelum mencuci dan melap bodi mobilnya”.

“Istri Abah di mana?” | “Di kampung” | “Punya anak?” | “Tiga orang, semuanya sudah menikah” | “Terus, istri Abah tinggal dengan siapa di kampung?” | “Dengan putri saya yang sudah menikah tapi belum punya rumah sendiri”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun