Pada suatu kongkow-kongkow di sela-sela kesibukan rutinnya, si Randu atau yang populer dengan sebutan Lelaki Paruh Baya (LPB), terlihat menyimak serius pernyataan seorang mentor: "Ketika menangani tindak kriminal, yang berat ataupun ringan, ada prinsip yang seharusnya menjadi perhatian setiap orang: 'Bahwa hanya Tuhan dan hakim, yang berhak dan bisa menghukum (menjatuhkan vonis terhadap seseorang)'."
Dan vonis hakim itu pun harus dilakukan melalui amar putusan di sidang pengadilan. Bukan melalui talk-show di layar kaca atau wawancara radio atau melalui pernyataan di media cetak.
Tentu, vonis itu bisa berupa hukuman badan ataupun verbal. Dan jangan salah, kadang vonis verbal itu jauh lebih menyakitkan dibanding hukuman fisik.
Dari situlah muncul dua pemeo hukum yang sangat populer:
Pertama, "Jangan main hakim sendiri!" Ilustrasi ekstremnya: yang bukan Tuhan dan bukan hakim, tidak  diperkenankan bahkan sekedar menjewer kuping pelaku kriminal.
Kedua, bahwa hakim adalah perwakilan Tuhan di bumi. Putusannya sakral (yang jika diilustrasikan mungkin hanya dua level di bawah firman Tuhan), dan karena itu, beban tanggung jawabnya juga besar.
Kongkow-kongkow itu berlangsung paralel dengan liputan live semua layar televisi, yang menyorot proses persidangan kasus pembunuhan yang telah-sedang-dan-masih menyedot perhatian publik nasional.
Syarifuddin Abdullah | 01 Nopember 2022/ 06 Rabiul-tsani 1444H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H