Ini krisis yang unik. Locusnya di wilayah perbatasan Rusia-Ukrania. Tapi di permukaan, yang muncul justru persiteruan panas antara Rusia versus Amerika-NATO. Ukraina sendiri hanya menanti hasil negosiasi antara Rusia dan Amerika-NATO. Warga sipil di Ukraina menunggu dengan hati berdebar.
Asumsi di lapangan
Sikap resmi Gedung Putih dan NATO: mengacu pada asumsi gelaran pasukan Rusia, serangan Rusia terhadap Ukraina bisa terjadi kapan saja. Jika serangan Rusia terjadi, Amerika dan sekutunya sudah siap dengan sanksi yang disebut "the mother of all sanctions".
Perancis (yang juga NATO) berupaya dan mencoba memainkan diplomasi unilateral: Presiden Perancis Emmanuel Macron ke Kremlin menemui Vladimir Putin. Hasilnya nggak jelas.
Sebaliknya, sikap resmi Kremlin: tak ada niat untuk menyerang Ukraina. Mobilisasi pasukan dan peralatan tempur di dekat perbatasan Ukrania, seluruhnya masih dalam teritori Rusia, lantas apa yang salah.
Lalu ada China yang menegaskan, pertemanan antara Rusia dan China tak ada batasnya (has no limits). Hanya satu negara yang terang-terangan berpihak ke Rusia: Belarusia.
Di antara dua kubu itu, ada jajaran pengamat, analis, komentator media dan praktisi di lembaga-lembaga think-tank yang tiap saat mengeluarkan pernyataan atau penjelasan yang kadang tidak menjelaskan, bahkan terkesan mengompori situasi.
Yang agak unik sekaligus aneh: Presiden Ukraina sendiri, Volodymyr Zelensky, entah dengan alasan apa dan tujuan apa, beberapa kali justru menegaskan belum ada indikator kuat bahwa Rusia akan menyerang Ukraina.
Akar persoalan
Rusia beranggapapan, penetrasi NATO ke negara-negara satelit di bagian barat Rusia sudah terlalu jauh, dan fakta ini merupakan ancaman serius bagi keamanan nasional Rusia. Karena itu, Rusia ingin penegasan atau komitmen dari NATO bahwa Ukraina tidak akan dimasukkan sebagai anggota NATO. Konon permintaan Rusia ini mengacu pada janji-janji NATO di awal runtuhnya Tembok Berlin bahwa NATO tidak akan memperluas wilayah pengaruhnya satu incipun ke arah Timur (dekat perbatasan Rusia).