Proses tawar-memawar nilai panai seperti ini memang bisa diposisikan sebagai "momentum mempertaruhkan segalanya". Karena di sini, harga diri (siri) dipertaruhkan.
Karena itulah, dalam proses negosiasi nilai panai, masing-masing pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan menunjuk juru runding yang memiliki track-record dalam proses lamar-melamar.
Saya teringat di kampung dulu, tepatnya di Mapilli, Polman, ada orangtua laki-laki yang kami panggil dengan nama Pua Awu, yang terkenal, kharismatik, piawai dan disegani sebagai juru runding panai dan proses lamaran.Â
Sebab, jika Pua Awu diminta dan ditunjuk sebagai juru runding pihak laki-laki, maka juru runding pihak perempuan akan sangat repot dan sulit menolaknya.Â
Saking hebatnya, setiap kali Pua Awu berangkat untuk melamar, orang di kampung akan bilang: lamarannya sudah diterima bahkan sebelum berangkat dan disampaikan kepada pihak perempuan. Dan konon, ini ada ilmunya. Keren.
Pua Awu bolehlah disebut negosiator ulung. Cuma sayang sekali memang, saya tidak/belum sempat mencapai usia yang layak mewarisi dan menerima ilmunya sampai Pua Awu wafat (Allahu yarhamuhu).
Tetapi sampai saat ini, saya tidak akan mau berada dalam posisi di-pirau mokai. Hehehehe.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 15 Nopember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H