Pada 25 Mei 2020, tiga-empat perwira polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, merespon klaim seorang pelayan toko, yang melaporkan adanya seorang warga Amerika, yang coba membayar dengan uang palsu (counterfeit bill). Di TKP, polisi akhirnya menangkap lelaki itu, yang kemudian diketahui bernama George Floyd, 46 tahun dan berkulit hitam.
Sesuai prosedur, mestinya polisi langsung menahannya di mobil polisi untuk selanjutnya di antar ke kantor polisi untuk proses lebih lanjut.
Namun entah mengapa (?), masih di lokasi TKP dan tanpa alasan yang jelas, dengan lutut-betisnya, seorang polisi terlihat menindih bagian leher Floyd selama sekitar 9 (sembilan) menit. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, George Floyd sempat berkata "I can't breath (saya nggak bisa bernapas)". Rekaman lanjutannya memperlihatkan Floyd diangkat dengan ranjang-roda. Setelah Floyd lemas tak bergerak, ketiga polisi itu memang terlihat panik.
Rekaman penindihan terhadap leher Floyd oleh Polisi itu beredar viral di berbagai platform media sosial sehari kemudian (26 Mei 2020), dan aksi protes pun mulai di Minneapolis, lalu menyebar ke berbagia kota dan negara bagian.
Derek Chuvin, perwira polisi yang menindih leher Floyd ditangkap pada 29 Mei 2020, yang mungkin akan dituntut dengan tuduhan menggunakan wewenang kekerasan yang berlebihan dan tidak beralasan (excessive and unjustified force).
Sejak itu dan sampai hari ini, enam hari setelah kejadian, berbagai kota di Amerika dilanda aksi protes massal, sebagian di antaranya ditingkahi aksi kekerasan. Sebagian kota atau negara bagian bahkan memberlakukan jam malam (larangan keluar) untuk meredam aksi.
Catatan:
Pertama, memang sebagian besar pemrotes adalah warga berkulit hitam (African-American), tapi banyak juga warga berkulit putih yang ikut berdemo. Kasus yang awalnya lebih karena faktor kulit hitamnya sang korban, telah bergeser menjadi isu yang lintas-warna kulit.
Kedua, di beberapa titik aksi, peserta aksi bentrok dengan polisi. Sebagian ditingkahi pembakaran mobil dan properti lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa aksi protes yang dipicu oleh kamarahan kolektif, output aksinya relatif sama: gesekan, bentrokan dan pengrusakan.
Ketiga, gelombang aksi protes terkait kasus Floyd itu juga mengirim pesan bahwa praktek penegakan hukum kadang masih ditingkahi semangat slavey syndrome (sindrom perbudakan), sebuah ide yang mulai diadvokasi oleh kelompok aktivis asal Afrika: Global Pan-Afrcanisme Network (GPAN).
Keempat, penindihan dengan lutut-betis polisi yang berujung maut bagi George Floyd itu bukan lagi dilihat sebagai sekedar tindakan berlebihan aparat yang berakibat kematian, tetapi sudah diposisikan sebagai "pembunuhan dengan penghinaan". Dan faktor penghinaan inilah tampaknya yang memicu aksi protes yang lebih bringas, yang kayaknya masih akan berlangsung lama, apalagi korban kebetulan berkulit hitam. Khususnya setelah beredar banyak video lain, yang memperlihatkan aparat keamanan bertindak keras terhadap warga kulit hitam.