Ia memang dinilai sukses melakukan reformasi dalam negeri di Ethopia, dan juga memediasi proses perdamaian dan kompromi politik di wilayah regional Tanduk Afrika, dan terakhir menengahi kompromi politik antara militer dan aktivis civil sociaty di Sudan.Â
Namun, sepanjang penelusuran saya, Abiy belum punya prestasi pada level global. Karena itu, saya juga kurang sreg dengan pandangan sebagian pengamat yang mulai mensejajarkan Abiy Ahmed dengan Nelson Mandela asal Afrika Selatan (peraih Nobel Perdamaian tahun 1993, dan baru menerimanya tahun 1999).
Ketiga, prestasi yang dibuat dalam tempo kurang dari dua tahun itu, di satu sisi memang spektakuler. Namun periode dua tahun itu juga masih amat rentan oleh perubahan dan gangguan.Â
Tantangannya adalah apakah Abiy akan tetap konsisten dengan segala gebrakan reformasi dan ide-ide briliannya. Sebab seperti diketahui, hampir semua kebijakan Abiy diambil dan dieksekusi dalam rentang waktu kira-kira 6 bulan sejak dilantik menjadi Perdana Menteri pada April 2018.
Apapun itu, palu Komite Nobel telah diketok. Abiy Ahmed akan menerima secara langsung piala Nobel Perdamaian pada 10 Desember 2019 di Oslo, Norwegia, dan berhak membawa pulang uang sebanyak 9 (sembilan) juta Krone Norwegia (sekitar 900.000 USD atau Rp13 miliar).
Buat saya, dan ini yang penting untuk ke depannya, meraih Nobel Perdamian di usianya yang relatif masih muda (43 tahun) membuka rentang waktu yang cukup lama bagi Abiy Ahmed untuk terus merawat dan meningkatkan popularitas, pengaruh dan inspirasi internasionalnya.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 13 Oktober2019/ 14 Safar 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H