Dua becak model Jawa Tengahan terlihat mangkal. Tukang becaknya orang Belanda bule asli. Lalu seorang ibu renta meminta tukang becak bule itu untuk diantar ke stasiun Den Haag Central, yang berjarak sekitar 150 meter.Â
Dua becak itu adalah becak pesiar, yang khusus melayani pengunjung. Tarifnya 3 Euro. Ibu renta itu menenteng beberapa kresek berisi beberapa jenis jajanan, yang baru saja dibeli di arena pestival. Saya mengamati tukang becak bule itu menggoes becaknya tanpa kaku, seperti umumnya para tukang becak yang masih beroperasi di beberapa kota di Indonesia.
Sekilas pemandangan itu tampak seperti terjadi di salah satu pasar tradisional di sebuah kota di Indonesia. Tapi ini di Den Haag, Bung. Tepatnya di alun-alun Malieveld, yang menjadi lokasi penyelenggaraan festival tahunan, yang populer dengan sebutan Tong-Tong Fair (TTF).
Saya membaca brosur di arena TTF dan terbaca bahwa secara historis, TTF ternyata sudah lebih tua dari usia saya. Pertama kali diselenggarakan pada tahun 1959, diinisiasi oleh para generasi awal diaspora Indonesia di Belanda. Awalnya bernama "Pasar Malam Besar" atau "The Great Night Market". Pernah diresmikan langsung oleh Ratu Belanda Beatrix pada tahun 2003, dan namanya diubah menjadi Tong-Tong Fair (TTF) sejak 2009.
Ketika memasuki arena festival, mata saya langsung tergoda melihat sebuah stan yang cukup besar, berlokasi persis di tengah tenda raksasa, dan dikerumuni banyak pengunjung. Awalnya saya pikir ada pertunjukan sulap, eh, ternyata stan yang menjual beragam jajanan Nusantara, mulai dari cendol, lumpia, onde-onde, es kelapa muda, gorengan.Â
Pokoknya semua jenis jajanan khas Nusantara, mulai dari Aceh sampai Papua. Karena TTF tahun 2019 ini diselenggarakan bertepatan dengan bulan Ramadhan, berkunjung ke TTF mirip dengan memburu jajanan untuk buka puasa.
Pada 2019 ini, TTF yang diselenggarakan selama 11 hari (23 Mei -Â 02 Juni 2019), tercatat diikuti sekitar 48 stan peserta asal Indonesia yang mengisi paviliun Indonesia, termasuk stan perwakilan beberapa Pemerintah Provinsi seperti DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Kepulauan Riau.
Berdasarkan pengamatan sekilas, para pengunjung TTF berimbang antara diaspora Indonesia dan warga asli bule Belanda. Dan secara umum, lokasi TTF dibagi dalam dua paviliun utama: pertama, pavilun khusus Indonesia, dan kedua, paviliun yang diisi oleh para diaspora asal Indonesia yang telah menjadi warga negara Belanda terutama dari komunitas Maluku serta perwakilan beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand dan India. Penjaga stan, yang bule sekalipun, hampir semuanya bisa berbahasa Indonesia.
Singkat cerita, TTF merupakan pesta rakyat tahunan di musim panas di Belanda yang bernuansa Indonesia banget. Dilihat dari segi banyaknya jumlah pengunjungnya, yang setiap tahun konsisten lebih dari 100.000 pengunjung, TTF dinobatkan sebagai festival terbesar keempat di seluruh wilayah Belanda, dan menjadi ikon tahunan kota Den Haag.
Pada hari itu, di panggung hiburan live di arena pestival, saya memanjakan telinga sambil duduk beberapa lama menikmati penampilan sebuah group musik jazz. Saya sempat membatin: mana keroncongannya atau dangdutannya, ya?