Kremlin dan Lapangan Merah di Moscow, siapa yang tak pernah mendengarnya?
Di tengah ribuan wisatawan yang hadir di Lapangan Merah pada 10 Mei 2019, saya mencoba menyeimbangkan pengamatan terhadap dua hal: deretan beberapa gedung ikonik di dalam wilayah Lapangan Merah; dan wajah para wisatawan yang menunjukkan negara asalnya.
Pertanyaan awal yang muncul adalah kenapa disebut lapangan merah (Red Square)? Saya menyimpulkan sederhana saja: karena semua bangunan ikonik di wilayah Red Square (yang luasnya 330 x 70 meter) memang dominan berwarna merah, tepatnya merah hati.
Seperti biasanya ketika mengunjungi suatu kawasan wisata yang luas, beberapa lama, saya berdiri di titik yang relatif tengah, lalu melayangkan pandangan ke seluruh arah mata angin untuk merekam suasana dan dinamikanya melalui pandangan dari satu titik:
Ke arah tenggara terlihat gagah berdiri Gereja Cathedral St. Basil, yang tiap menaranya mirip dengan gaya pewarnaan Persia atau Asia Tengah;
Ke arah timur laut, terlihat departemen store yang menjajakan barang-barang modis bermerek (branded) internasional;
Ke arah barat laut, memanjakan mata dengan keindahan seni arsitektur gedung museum sejarah negara (State Historical Museum) dan Kazan Cathedral.
Ke arah barat daya, mata pengunjung berhadapan dengan tembok atau benteng yang berdiri tegak memisahkan Lapangan Merah sebagai ruang publik dan istana Kremlin yang penuh rahasia, yang pernah dan masih menjadi lokasi domisili para pemimpin Rusia sejak zaman Tsar sampai kini: Presiden Rusia Vladimir Putin; lalu di salah satu bagian benteng itu, dengan posisi agak ke tenggara, berdiri tegak menara jam, yang menurut catatan didesain seorang arsitektur asal Italia.
Berada di dalam wilayah Red Square tak bisa lain kecuali merenung dan mendaur ulang tentang sejarah panjang kota Moscow dan Rusia sebagai salah satu negara yang sejak lama dan hingga hari ini masih memiliki semua syarat untuk disebut negara adikuasa, yang tak pernah berhenti mengalami proses up and down.